Pages

Minggu, 30 Maret 2014

PEMBERANTASAN PENYAKIT DAN WABAH



PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR LANGSUNG

A.    Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Pada awal tahun 1995 WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sebagai strategi dalam penanggulangan TB dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective), yang terdiri dari 5 komponen kunci 1) Komitmen politis; 2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; 4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu; 5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Adapun analisis kegiatan program TB yang telah dicapai pada tahun 2013 adalah sebagai berikut;

1.         Angka penjaringan Suspek.
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). Angka penemuan suspek TB dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 capaian suspek cenderung menurun, angka cakupan suspek yang tertinggi pada tahun 2010 sebanyak 6.260 suspek dan terendah pada tahun 2012 sebanyak 3780 suspek. Sedangkan cakupan suspek  tahun 2013 sebanyak 3788 suspek, selanjutnya data cakupan suspek pertahun dapat dilihat dalam tabel dibawah.
 
 
2.         Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek.
Proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa (positivity rate) Adalah presentase pasien baru BTA positif yang ditemukan di antara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka proporsi pasien baru TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa ini sekitar 5 sd 15%. Angka ini bila terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan antara lain karena penjaringan suspek terlalu longgar, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). Sedangkan bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan antara lain karena penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Seperti terlihat dalam table dibawah.


Berdasarkan grafik (perpuskesmas proporsi pasien baru BTA positif di antara suspek yang diperiksa dahak tahun  2013 masih dalam range target yang diharapkan yaitu (5-15%). Pada tahun 2013, proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek yang terendah  ada 9 Puskesmas. (10 %) sedangkan yang tertinggi Puskesmas Sui Rengas ( 18 %).
Meskipun proporsi Kubu Raya pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya mencapai hasil yang diharapkan berkisar yaitu 5 sd 15%, namun beberapa Puskesmas memiliki angka yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana terlihat pada grafik, puskesmas yang angkanya melebihi angka proporsi 15%  tahun 2013 adalah Puskesmas Teluk Pakedai, Sui Rengas dan Lingga.  Hal ini menunjukan bahwa penjaringan kasus di Puskesmas tersebut terlalu ketat atau  ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat dari hasil pemantapan mutu eksternal (error rate).


3.         Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Angka penemuan kasus atau case detection rate (CDR) Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati dibandingkan dengan jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut.Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif dikalikan dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional dalam RPJMN tahun 2013 adalah minimal 70 %.  Grafik Angka Penemuan Kasus atau case detection rate (CDR) Tahun 2008 sd 2013 dibawah, menggambarkan angka penemuan kasus TB tahun 2008- 2013 meningkat tetapi tidak  signifikan dengan pencapaian terbesar 41.% pada tahun 2011 sedangkan untuk tahun 2013 capaian penemuan kasus TB paru BTA positif masih lebih rendah dibandingkan tahun 2011 (40.1%) namun angka tersebut belum memenuhi target RPJMN (70%). Seperti terlihat dalam grafik dibawah.


Adapun angka penemuan kasus atau case detection rate (CDR)  pada tahun 2013 Di Kabupaten Kubu Raya ada 2 Puskesmas yang telah mencapai target yaitu Puskesmas Batu Ampar 94.5% dan Puskesmas Rasau Jaya  87.4 %. Sedangkan Puskesmas Punggur hampir mencapai target yaitu 69.5 %. Sedangkan Puskesmas lain belum mencapai target, dan ada satu puskesmas yang belum menemukan  pasien TB.  Selanjutnya pencapaian penemuan TB perpuskesmas dapat dilihat dalam grafik dibawah.


Distribusi penemuan pasien TB di Kabupaten Kubu Raya tahun 2013 dari jumlah penduduk sebesar 511235 jiwa, dengan suspek sebanyak 3788 suspek , BTA + sebanyak 430 kasus, BTA Negatif dan Ronsen Positif sebanyak 118 kasus, ekstra baru sebanyak 1 kasus, Kambuh sebanyak 6 kasus, default tidak ada, gagal  tidak ada dan total kasus TB sebanyakdilihat dalam table dibawah. 555 kasus. Selanjutnya distribusi penemuan pasien TB Kabupaten Kubu Raya tahun  2013 dapat .


4.         Angka Konversi (Conversion Rate)
Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. Pada tahun 2013 Dinas kesehatan Kabupaten Kubu Raya telah berhasil mengobati TB sebanyak 430 pasien, dan yang telah konversi sebanyak 322  sementara ada 2 pasien yang default, 1 pasien pindah dan 3 pasien meninggal dunia. Sedangkan yang belum konversi sebanyak 102 pasien. Selanjutnya data konversi per puskesmas dapat dilihat dalam tabel dibawah.



Indikator ini dapat dihitung  dengan cara mereview seluruh  pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan). Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori 2. Angka konversi sementara tahun 2013 tingkat kabupaten  masih belum tercapai yaitu baru mencapai 75 % dari target 80 %, hal ini karena belum semua pasien melawati masa intensif, Angka konversi TB BTA + akan diketahui pada trimester 2 tahun 2014. Ada pun puskesmas yang telah mencapai konversi diatas 80 % adalah Puskesmas Batu Ampar, Kubu, Teluk Pakedai,Sui Rengas,Sui Asam, Parit Timur dan lingga, selanjutnya data konversi TB BTA + dapat dilihat dalam grafik dibawah .


5.         Angka Kesembuhan (Cure Rate)
Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA  positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif yang mendapat pengobatan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial.
. Selanjutnya hasil pengobatan per puskesmas dapat dilihat dalam tabel dibawah.


Sedangkan angka kesembuhan pasien TB Tahun 2013 belum dapat dinilai keseluruhan karena baru pada bulan ke 9-12 tahun 2014 hasil cure rate dapat dinilai, adapun hasil cure rate seperti terlihat dalam tabel berikut.


Indikator ini dapat dihitung dari pasien dengan cara mereview seluruh pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9 – 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh, setelah selesai pengobatan. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan. Bila angka kesembuhan lebih rendah dari 85%, maka harus ada informasi dari hasil pengobatan lainnya, yaitu berapa pasien yang digolongkan sebagai pengobatan lengkap, default (drop-out atau lalai), gagal, meninggal, dan pindah keluar. Angka default tidak boleh lebih dari 10%, sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
Selain dihitung angka kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung  juga angka kesembuhan untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan   ulang dengan kategori 2. Adapun angka kesembuhan pasien perpuskesmas dapat terlihat dalam bentuk grafik dibawah.
   


6.         Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat.
Proporsi pasien baru BTA positif di antara semua kasus Adalah presentase pasien baru BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular diantara seluruh pasien TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 65%. Karena akan menunjukan mutu diagnosis yang rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif). Seperti terlihat dalam  table dibawah.


Grafik Proporsi BTA positif di antara seluruh kasus tahun 2013 Berdasarkan grafik di bawah, proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus  2013, yang terendah adalah Puskesmas Kubu 52 % dan Sui Ambawang 55 %, sementara masih ada puskesmas yang belum mendapatkan kasus. Sedangkan tertinggi  ada di Puskesmas     Batu Ampar, Terentang, Sui Radak, Teluk Pakedai, Punggur, S.Asam, Korpri, Lingga dan Kuala Mandor B 100.%. Tahun  2013, angka tingkat Kabupaten sudah diatas target yaitu 79 % dari target yang diharapkan sebesar 65 % . Hal ini mengindikasikan bahwa apa bila target kuran dari 65 % menandakan kurang memberikan prioritas menemukan kasus BTA positif. Demikian juga sebaliknya apa bila target lebih dari 65 % menandakan bahwa prioritas menemukan kasus BTA Positif. Selanjutnya  Proporsi pasien TB paru BTA positif di antara seluruh kasus Tahun  2013 dapat dilihat dalam dibawah.


7.         Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB
Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus Adalah persentase pasien TB anak (0-14 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 8-12% pada angka maksimal 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. Pada tahun 2007, pencatatan dan pelaporan program TB belum mempunyai format yang memuat variabel anak secara rinci sehingga kasus TB anak pada tahun tersebut tidak terlaporkan. Adapun kasus TB anak diantara semua pasien TB Paru yang tercatat pada tahun 2013 sebanyak 15 anak (3%) dan seluruh kasus  TB sebanyak 555 kasus. Data kasus TB anak  perpuskesmas dapat dilihat dalam tabel dibawah.


Berdasarkan grafik dibawah ini, proporsi TB Anak diantara semua kasus tahun 2013 berada dalam batas normal, namun apabila dilihat pada tingkat puskesmas ada satu puskesmas yang proporsinya diatas 15 % yaitu puskesmas Kubu sebesar 33 %, hal ini menunjukkan proporsi yang sangat bervariasi dari 0 % sampai 33%. Grafik Proporsi Kasus TB Anak di Antara Seluruh Kasus Tahun 2011 sd 2013. Puskesmas dengan proporsi lebih dari 15.% adalah Puskesmas Kubu. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan over-diagnosis. Puskesmas dengan proporsi <5% .Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya under-diagnosis dan under- reporting.


8.         Angka keberhasilan pengobatan atau success rate
Angka kesembuhan atau cure rate dan angka keberhasilan pengobatan atau success rate Angka kesembuhan (CR) adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru BTA positif yang tercatat. Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal, default, dan pindah.

 • Angka default tidak boleh lebih dari 5%, karena akan menghasilkan proporsi pasien pengobatan ulang yang tinggi di masa yang akan datang yang disebabkan karena penanggulangan TB yang tidak efektif.
• Peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10 sd 20 % dalam beberapa tahun.

Sedangkan angka pengobatan gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh ≥ 2% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh ≥ 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat. Angka keberhasilan pengobatan (SR) menunjukkan presentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap)diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. Angka ini dapat dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai berobat dalam 9 sd 12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan. Oleh karena itu, pasien yang mendapatkan pengobatan di tahun 2013 baru dapat dilaporkan di tahun 2014. Data yang disajikan masih belum lengkap karena belum semua puskesmas melaporkan data hasil akhir pengobatan secara tepat waktu.


Grafik dibawah menunjukan Angka Keberhasilan Pengobatan (success rate /SR) Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan tersebut angka keberhasilan pengobatan mencapai lebih dari 85%, bahkan angka ini mencapai >90%. Target RPJMN untuk angka keberhasilan pengobatan di tahun 2012 adalah sebesar 91%. Jika dibandingkan antara pencapaian dengan target maka pada tahun 2012 angka keberhasilan pengobatan tercapai. Meskipun angka keberhasilan pengobatan dapat dikatakan cukup baik tetapi angka kesembuhan  tahun 2012 merupakan kesembuhan yang terendah. Angka Kesembuhan atau Cure Rate Tahun 2008 sd 2012 Target program : minimal 85% Target RPJMN: minimal 86% Target RPJMN: SR minimal 87%. Seperti terlihat dalam grafik dibawah.


Angka Keberhasilan Pengobatan (success rate/SR) per puskesmas di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2013 berdasarkan grafik dibawah  belum ada yang mencapai 85 % karena baru bisa dinilai setelah 9-12 bulan kemudian. Selanjutnya keberhasilan pengobatan dapat dilihat dalam grafik dibawah.


9.         Kesalahan Laboratorium
Angka kesalahan laboratorium Angka kesalahan laboratorium yang menyatakan presentase kesalahan pembacaan slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung oleh laboratorium pemeriksa pertama.
Saat ini pemeriksaan kesalahan dilakukan  dengan metode Lot Sampling Quality ssessment (LQAS). Waktu penghitungan angka ini berdasarkan sediaan dahak yang dikirim laboratorium pemeriksa pertama (Puskesmas) yang melakukan uji silang sekitar 3-6 bulan sebelumnya. Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung oleh laboratorium pemeriksa pertama. Ada 7  puskesmas yang telah mengirimkan cross chek triwulan pertama, 6 Puskesmas triwulan ketiga dan 7 puskesmas triwulan keempat yang mengirimkan cross chek dengan  menggunakan uji silang dengan metode Lot Sampling Quality Assessment (LQAS) sedangkan puskesmas yang lain masih menggunakan metode konvensional yaitu memerisa ulang 100% sediaan positif dan 10% sediaan negative.
     

Dari tabel  tersebut dibawa menunjukkan masih banyak fasyankes yang belum melaksanakan uji silang. Presentase fasyankes dengan kualitas baik dari fasyankes yang melaksanakan uji silang menunjukkan angka yang stabil. Fasyankes dengan kualitas baik pada daerah yang melaksanakan uji silang secara konvensional merupakan fasyankes dengan Error Rate ≤ 5%, sedangkan pada LQAS merupakan fasyankes tanpa KB (Kesalahan Besar) dan atau KK (Kesalahan Kecil) ≤ 3. Dari cross chek  11 Puskesmas tersebut  ada 7 puskemas mempunyai kesalahan besar dan ada 3 puskesmas mempunyai kesalahan kecil ≤ 3.  Ada 3 puskesmas yang baik dalam cross chek yaitu puskesmas Sui Rengas, Batu Ampar dan Sui Asam yang merupakan fasyankes tanpa KB (Kesalahan Besar) dan atau KK (Kesalahan Kecil) ≤ 3.

10.     Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.


Grafik Angka Notifikasi Kasus BTA Positif dan Seluruh Kasus per 100.000 Penduduk Tahun 2013 Angka notifikasi kasus baru BTA positif dan semua kasus tertinggi ada di puskesmas Rasau Jaya 216/100.000, Batu ampar 198/100.000 dan terendah  tidak diketemukan kasus di Puskesmas Sui Kerawang (untuk kasus baru BTA positif dan Seluruh Kasus), tahun 2013 tercatat  di Kabupaten Kubu Raya masih 108 per 100.000 penduduk diharapkan akan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Jika dibandingkan dengan target nasional yaitu  210/100.000 penduduk.

B.    HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual

Cakupan program pengendalian HIV dan AIDS tahun 2013 sebagaimana penjelasan di bawah ini:

1.         Kasus HIV dan AIDS serta Persebarannya Penemuan kasus baru HIV dan AIDS di Kabupaten Kubu Raya dari tahun 2009 hingga tahun 2013 cenderung meningkat. Seperti dalam grafik berikut :


Tahun 2013 dilaporkan ada 25 kasus baru HIV. Meskipun kumulatif kasus AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat tetapi jumlah kasus baru AIDS di tahun 2013 lebih rendah dibandingkan tahun 2012 sebagaimana dapat terlihat dalam grafik diatas.
Sedangkan sebaran penyakit HIV/AIDS pada tahun 2009 s/d 2013 seperti terlihat dalam garfik dibawah, dengan kasus yang paling banyak di Puskesmas Sui Raya dalam 48 kasus, Sui Durian 15 kasus, Sui Ambawang 10 kasus, Sui Kakap 9 kasus lain-lain 7 kasus (alamat pasti tidak diketahui) , Sui asam 6 kasus dan Rasau Jaya 6 kasus.


 Jumlah Kasus HIV dan AIDS Menurut Tahun di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2009 sampai dengan 2013 Kasus AIDS di atas lebih banyak terjadi pada laki-laki 84 kasus (72%) dibandingkan perempuan 33 kasus (28%) seperti terdapat dalam diagram dibawah ini.


Sementara kelompok usia didominasi oleh kelompok usia produktif 20-39 tahun (46 kasus).  Secara lengkap dapat dilihat pada grafik di bawah ini.


Grafik Persentase Kasus HIV/AIDS Menurut Jenis Kelamin di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2013 masih didominasi oleh laki-laki sebanyak 19 kasus (76%) sementara Perempuan sebanyak 6 kasus (24%) seperti  dalam diagram dibawah.


Grafik Persentase Kasus HIV/AIDS Menurut Kelompok umur di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2013 masih didominasi oleh usia produktif usia 30-39 tahun sebanyak 9 kasus (36%) sebanyak 7 kasus (28%) seperti  dalam grafik dibawah.


Sedangkan Grafik Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Kelompok Umur di Kabupaten Kubu Raya Tahun  2009 s/d 31 Desember 2013  seperti terlihat dibawah sama dengan grafik tahun 2013 yaitu didominasi usia 30-39 tahun sebesar (39.32 %) dan usia 20-29 tahun sebesar (30,77%) selanjutnya dapat dilihat di grafik dibawah.



Apabila dilihat dari paparan maka  faktor risiko penularan dari ibu ke anak dari tahun 2009 ke tahun 2013 mengalami peningkatan dari 1,71 % menjadi  4 %.

2.         Faktor Risiko HIV dan AIDS di Indonesia Cara penularan HIV-AIDS melalui pertukaran darah, seksual dan vertikal dari ibu ke bayi/anaknya, namun bervariasi menurut faktor risikonya dari waktu ke waktu. Pada era 80-90an penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan homoseksual dan pada tahun 2001 sd 2005 lebih banyak disebabkan oleh penggunaan jarum suntik (Intravenous Drug User/IDU). Dan saat ini penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan heteroseksual. Secara lengkap faktor risiko penularan dapat dilihat pada diagram di bawah ini. 

Faktor risiko utama penularan HIV dan AIDS adalah melalui hubungan heteroseksual.

3.         Infeksi Oportunistik Berdasarkan infeksi oportunistik yang paling banyak adalah TB-HIV, karena TB dan HIV dapat merupakan ko-infeksi, disusul oleh diare dan kandidiasis. Data di Kabupaten Kubu Raya  tentang infeksi Oportunistik belum ada karena di Kabupaten belum mempunyai Rumah Sakit daerah sehingga kasus infeksi oportunistik tidak ada data.

4.         Layanan Tes dan konseling terkait HIV Keberadaan layanan tes dan konseling terkait HIV harus terjangkau secara luas di masyarakat dalam upaya pengendalian, sehingga memudahkan akses ke layanan pengobatan ART dan layanan dukungan lainnya. Tes dan Konseling HIV merupakan pintu masuk (entry point) untuk membantu setiap orang mendapatkan akses layanan komprehensif, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial. Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan informasi yang akurat dan tepat dapat dicapai, sehingga proses pikir, perasaan dan perilaku dapat diarahkan kepada perubahan perilaku yang lebih sehat. Cakupan program layanan Konseling dan Tes Sukarela (KTS/VCT: Voluntary Counseling and Test)  di Kabupaten Kubu Raya VCT sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya setelah bantuan operasional pada Rumah Sakit kartika Husada dihentikan. Data yang dinas kesehatan dapat adalah data dari VCT di Rumah Sakit Sudarso dan VCT lain yang ada di Kota Pontianak.

5.         Perawatan HIV dan Layanan ARV Rumah sakit yang memberikan pelayanan ART sesuai dengan SK Menkes RI No. 782/MENKES/SK/IV/2011 tentang RS Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) sebanyak 355 RS Rujukan Bagi ODHA. Saat ini rumah sakit yang ada di Kubu Raya belum melaksanakan pengobatan ARV. Sehingga dinas kesehatan kubu raya tidak ada data penderita yang telah melakukan pengobatan dengan ARV dan penderita yang telah jatuh pada kondisi AIDS.

6.         Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap cakupan pengobatan: rendahnya deteksi dini diagnosis HIV, pasien yang layak mendapat pengobatan (eligible) menurut pedoman nasional belum siap untuk menerima pengobatan karena masalah psikososial (tidak siap untuk berobat seumur hidup), masalah transportasi (rumah jauh), dukungan keluarga, pasien masuk sudah dalam taraf terminal, dan lain-lain. Faktor eksternal lain yang berpengaruh besar adalah upaya penjangkauan terhadap ODHA masih belum optimal karena masih adanya stigma dan diskriminasi sehingga penemuan kasus secara dini belum optimal.

7.         Layanan Infeksi Menular Seksual (IMS) IMS merupakan salah satu pintu masuk atau tanda-tanda adanya HIV. Total kasus IMS yang ada di kabupaten kubu raya tahun 2013 belum bisa direkap karena puskesmas tidak memberikan laporan tentang kasus IMS ke dinas kesehatan.

Dalam upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS ada beberapa hal yang perlu dilakukan dan menjadi perhatian antara lain :

a.    Percepatan dan perluasan program dan layanan yang komprehensif. Sektor kesehatan dan jajarannya di semua tingkatan akan berupaya meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang peduli dan mengerti permasalahan program dan layanan HIV-AIDS termasuk IMS, diagnosis dini, konseling dan tes (K&T) terintegrasi dalam setiap bentuk program maupun layanan kesehatan, pengurangan dampak buruk napza atau PTRM, dan akses serta ketersediaan ART. Dalam era desentralisasi, sektor kesehatan di tingkat Kabupaten dapat  menetapkan target percepatan dan perluasan program dengan memberikan perhatian beberapa hal sebagai berikut:
1)    Peningkatan kualitas pengetahuan, keterampilan dan kewenangan tenaga kesehatan di pelayanan maupun program.
2)    Ketersediaan dan kecukupan serta berkesinambungan dalam hal logistik obat, bahan habis pakai dan alat kesehatan,
3)    Menyebarluaskan pengetahuan komprehensif promosi, pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi melalui distribusi dan ketersediaan informasi, edukasi dan konseling yang bermutu terutama penguatan substansi pesan tentang cara akurat mencegah penularan IMS dan HIV melalui perilaku seks dan pertukaran darah, dan penularan dari ibu ke bayi/anak beserta faktor dan populasi berisiko, serta pengelompokan media KIE berdasarkan segmentasi populasi risiko tinggi, dan populasi umum.
4)    Meningkatkan efektivitas penggunaan media KIE di pusat-pusat layanan kesehatan (RS, Puskesmas/ Klinik), dan pusat informasi kesehatan pada spot populasi berisiko, beserta layanan yang tersedia. Sektor Kesehatan tingkat kabupaten dan unit layana primer berupaya menggerakkan partisipasi aktif kelompok dukungan sebaya ODHA, populasi berisiko dan pemangku kepentingan lokal untuk pelaksanaan program komunikasi kesehatan yang berorientasi membangun motivasi hidup sehat dan rendah risiko penularan HIV.
5)    Meningkatkan cakupan pesan tentang kesehatan reproduksi dan seks aman seperti menunda hubungan seks pertama pada remaja dan pemuda, dan mengurangi jumlah pasangan seks pada populasi berisiko.
6)     Menyebarluaskan informasi yang benar untuk menghapus pandangan yang salah tentang penularan IMS dan HIV, pelayanan dan pemeriksaan kesehatan bersahabat serta meningkatkan pelayanan pengobatan terkait HIV dan AIDS.
7)    Meningkatkan cakupan pemakaian kondom pada populasi penjaja seks dan menyediakan serta meresepkan kondom sebagai alat kesehatan preventif bagi setiap pasien IMS.
8)    Meningkatkan pengurangan dampak buruk narkoba melalui layanan PTRM, ketersediaan dan permintaan alat dan jarum suntik steril sekali pakai bagi pengguna narkoba suntik dan menganjurkan rehabilitasi.

b.    Meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan IMS, PTRM, KT HIV, dan TB-HIV, ART dan IO. Peningkatan jumlah bertujuan untuk mendekatkan akses layanan agar:
1)    Prevalensi IMS dan HIV pada populasi berisiko dapat dikendalikan.
2)    Meningkatnya jumlah peserta aktif PTRM. 
3)    Meningkatnya cakupan testing dan konseling HIV pada populasi berisiko dan rawan tertular HIV, penderita TB dan Ibu hamil .
4)    Meningkatnya cakupan penapisan TB pada ODHA dan sebaliknya.
5)    Meningkatnya cakupan layanan PMTCT
6)    Meningkatnya cakupan layanan ART dan IO

c.     Meningkatkan kinerja supervisi, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi dengan memperkuat kepemimpinan dan koordinasi, serta sinkronisasi pelaksanaan sistem yang telah tersedia.
d.    Memperkuat konsolidasi dan koordinasi pada semua jajaran sektor kesehatan di semua tingkatan.
e.    Memperkuat penyusunan perencanaan program dan anggaran yang terpadu serta saling bersinergis di semua tingkatan
f.     Menyusun rencana kerja spesifik tentang sasaran prioritas program dan sub populasi, ukuran pencapaian hasil, alur kerja, dan monitoring serta evaluasi
g.    Memperkuat alur kerja pelaksanaan program yang saling bersinergis di masing-masing tingkat dan antar tingkat.
h.    Memperkuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan surveilans terpadu.
i.      Memperkuat pelaksanaan sistim supervisi, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi program.
j.      Memperkuat koordinasi lintas program dan lintas sektor terkait di masing- masing tingkat agar program percepatan dan perluasan pengendalian IMS, HIV dan AIDS mendapat dukungan politis dan teknis operasional.
k.    Membangun perspektif hidup sehat dan rendah risiko penularan HIV. Sektor Kesehatan di masing-masing tingkat melaksanakan advokasi kepada penentu keputusan dan pemangku kepentingan sebagai usaha memperkuat dukungan sumberdaya dan dana, menciptakan suasana kondusif untuk pelaksanaan program, dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program.

Dalam rangka untuk melaksanakan Permenkes no 21 tahun 2013, yang intinya bahwa semua puskesmas sudah dapat melakuka test HIV pada tahun 2014 KABUPATEN KUBU RAYA akan secara bertahap dan disesuaikan dengan sdm melaksanakan test hiv pada 4 puskesmas : rasau jaya sui durian  dan sui kakap.

8.         Pencapaian Indikator Renstra dan MDG.

Dalam MDG, pengendalian HIV-AIDS termasuk dalam Goal 6 yakni ‘Memberantas HIV AIDS, Malaria dan Penyakit Lainnya’ dan memiliki dua (2) target dan empat (4) indikator sebagai berikut:
Target 6A: Mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru HIV/AIDS pada tahun 2015 Prevalensi HIV/AIDS <0,5 dengan cakupan (Tidak ada data). Penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi terakhir 45%  dengan cakupan (tidak ada data). Persentase remaja usia 15 -24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai HIV dan AIDS 75%  dengan cakupan (tidak ada data). Target 6B: Mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV/AIDS bagi semua yang membutuhkan sampai dengan tahun 2013 Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan anti retroviral 80%  untuk di Kabupaten Kubu Raya cakupan pemakaian ARV tidak bisa dinilai karena tidak data pemakaian ARV hal ini disebabkan di Kabupaten tidak ada layanan ARV.

C.    ISPA
Penemuan dan Penanganan Kasus ISPA pada Balita ISPA khususnya Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Kabupaten Kubu Raya terutama pada Balita. Dari total jumlah kunjungan yang ada tahun 2013 sebanyak 14.380 kasus  penyakit  ISPA  yang dilakukan pengamatan sebanyak  4.691 anak < 1 tahun, dan 9.689 anak 1-4 tahun. Sedangkan kasus Pneumonia  sebanyak 240 (4.53%) dengan rincian 74 kasus pada anak <1 tahun dan 166 kasus pada anak 1-4 tahun.
Puskesmas yang paling banyak melaporkan kasus ISPA adalah Puskesmas Sui Durian, Puskesmas Sui Raya Dalam, Puskesmas Sui Kakap dan Sui Ambawang.  Sedangkan persentase kasus pneumonia terbanyak terdapat di Puskesmas Sui Asam 48.6%, Puskesmas Punggur 14,97 %, Puskesmas Sui Ambawang 8,29  puskesmas Sui Raya dalam 7,24 %. Dari laporan yang ada masuk pada Dinas kesehatan kabupaten kubu Raya cakupan Pneumonia masih jauh dari target yang diharapkan sebesar 80 %. Selanjutnya data kasus Pneumonia dan bukan Pneumonia dapat dilihat dalam tabel dibawah :



Menurut hasil Riskesdas 2007, pneumonia merupakan pembunuh nomor dua pada Balita (15,5%) setelah diare (25,2%). Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Rudan,et al (2004) di negara berkembang termasuk Indonesia insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah Balita. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara lain gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, , cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR.
Sedangkan data kelengkapan dan ketepatan ISPA tahun 2013di Kabupaten Kubu Raya sebesar 63.16 % (144 laporan) belum  sesuai dengan indikator nasional untuk kelengkapan laporan ISPA sebesar ≥90%  ada 3 puskesmas yang tidak membuat laporan yaitu puskesmas Batu Ampar, Padang Tikar dan Puskesmas Sui Kerawang. Puskesmas yang telah mencapai target kelengkapan laporan adalah Puskesmas Lingga, Korpri, Sui Kakap Sui rengas dan Sui Radak. Sedangkan ketepatan laporan sebanyak 1 % (12 laporan ) masih jauh dari laporan yang diharapkan sebanyak ≥80%). Selanjutnya data kelengkapan dan ketepatan laporan dapat dilihat seperti dalam tabel dibawah ini :



Laporan kasus Pneumonia tahun 2013 seperti terlihat dalam grafik dibawah bahwa kasus yang terbanyak ada di puskesmas Sui Asam 48,1 %, Puskesmas Punggur 15 %, Puskesmas Sui Ambawang 8.3 % dan Puskesmas Sui raya 7,2%. Sedangkan tingkat Kabupateb cakupan masih 4.5 %. Selanjutnya data kasus  Pneumonia dapat dilihat dalam grafik dibawah.


Cakupan penemuan pneumonia balita dari tahun ke tahun relatif tetap. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan  dibanding tahun sebelumnya,demikian juga penemuan ISPA pada tahun 2013 mengalami peningkatan hal ini karena puskesmas dengan sasaran besar mengirimkan laporan, namun demikian masih ada  puskesmas yang  belum  mengirimkan laporan secara lengkap.  Cakupan penemuan kasus ISPA dan Pneumonia pertahun seperti terlihat dalam table dibawah.


Kasus Pnemonia Balita pada Tahun 2013 jika dibandingkan dengan cakupan  nasional cakupan di Kabupaten Kubu Raya  masih jauh di bawah target yang di tetapkan yaitu 4.5% (Target 80%). Rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara lain: Puskesmas banyak yang tidak memberikan laporan bulanan, laporan bulanan puskesmas tidak mencakup pustu dan polindes serta praktek-praktek swasta, Sumber data laporan cakupan program P2 ISPA sebagian besar berasal dari PUSKESMAS, data yang didapat dari RS milik TNI AD dan AU tidak ada melaporkan sedangkan rumah sakit pemerintah daerah belum ada . Karena tingginya frekuensi mutasi sebagian besar tenaga kesehatan di daerah termasuk Pengelola program ISPA, serta keterbatasan sumber daya terutama dalam Capacity building dan Supervisi (MTBS maupun Tatalaksana kasus ISPA balita), sehingga banyak kasus pneumonia balita yang Under reported. Ketepatan dan kelengkapan Laporan program P2ISPA relatif masih rendah terutama dari puskesmas ke Kabupaten. Dan disamping itu sampai dengan saat ini belum mempunyai angka insiden kasus Pneumonia balita, sehingga perkiraan kasus pneumonia balita di Indonesia masih menggunakan estimasi 10% dari populasi balita (WHO). Dana BOK belum dipergunakan secara optimal dalam mendukung penemuan kasus pneumonia balita di Puskesmas (operasional luar gedung). Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka peningkatan cakupan penemuan pneumonia Balita tahun 2013 antara lain:
1.         Supervis dan pembinaan ke puskesmas.
2.         Umpan balik dengan memberikan laporan ke Puskesmas.

D.    Diare, Kecacingan & Penyakit Saluran Pencernaan
Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa Penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada Balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%).
 Angka kesakitan diare semua umur pada tahun 2012 adalah 214 per 1.000 penduduk pada tahun 2012 dan angka kesakitan diare balita pada tahun 2012 adalah 900 per 1000 balita. Angka kesakitan hasil kajian morbiditas diare tahun 2012 tersebut lebih rendah dari tahun 2010 sebesar 411 per 1.000 penduduk dan episode diare balita 1,3 kali per tahun. Adapun sasaran dan target diare di kabupaten Kubu raya dengan jumlah penduduk tahun 2013 sebanyak 529.465 penduduk dengan target semua umur 11.331 penduduk, sasaran balita 52.947 penduduk dengan target sasaran 20 % balita sebanyak 9.530 balita, data  per puskesmas dapat dillihat dalam table dibawah :

Cakupan diare balita perpuskesmas tahun 2013 seperti terlihat dalam grafik dibawah ada dua Puskesmas yang cakupannya melebihi 100 persen yaitu puskesmas Sui Radak sebanyak  176.58 % dan Puskesmas terentang 102.03 %. Sedangkan Puskesamas yang belum mencapai target 100 % ada  15 Puskesmas dengan dua puskesmas belum mengirimkan laporan yaitu  puskesmas Sui Radak dan Puskesmas Padang Tikar. Cakupan pada tingkat kabupaten baru mencapai 39.77 %. Selanjutnya data cakupan diare balita perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah .


Cakupan diare semua kelompok umur  perpuskesmas tahun 2013 seperti terlihat dalam grafik dibawah ada tiga Puskesmas yang cakupannya melebihi 100 persen yaitu puskesmas Sui Radak sebanyak  226.5 %, Puskesmas terentang 191 % dan puskesmas Sui Asam 107 %. Sedangkan Puskesamas yang belum mencapai target 100 % ada  15 Puskesmas dengan dua puskesmas belum mengirimkan laporan yaitu  puskesmas Sui Radak dan Puskesmas Padang Tikar. Cakupan pada tingkat kabupaten sudah mencapai 68.9 %. Selanjutnya data cakupan diare semua kelompok umur perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah .

Proporsi pengobatan dengan pemberian oralit pada semua kasus Diare di Kabupaten Kubu Raya sebesar 96.5 % seharusnya 100% penderita diare mendapatkan pengobatan dengan pemberian oralit. Ada tujuh puskesmas yang  melakukan pengobatan 100 % paien diberi oralit yaitu Puskesmas Lingga, Sui Raya Dalam, Korpri, Teluk Pakedai, Terentang dan Batu Ampar. Selanjutnya data pemberian oralit pada kasus  diare semua kelompok umur perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah .


Proporsi pengobatan diare dengan pemberian zinc pada kelompok umur balita di Kabupaten Kubu Raya sebesar 43.4 % seharusnya 100% penderita diare mendapatkan pengobatan dengan pemberian zinc. Ada satu puskesmas yang  melakukan pengobatan 100 % pasien pada kelompok umur balita yang diberi zinc yaitu Puskesmas Korpri. Ada 2 Puskesmas yang belum  mengirim laporan dan satu puskesmas yang tidak memberikan zinc pada pasien diare yaitu puskesmas Batu ampar. Selanjutnya data pemberian zinc pada kasus  diare kelompok umur balita perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah .



Rata-rata pemakaian Oralit pada pengobatan diare pada semua kelompok umur di Kabupaten Kubu Raya sebesar 5.8  saset seharusnya 6 saset. Ada sembilan  puskesmas yang  memeberikan  6 saset oralit pada pasien diare pada semua kelompok umur, yaitu Puskesmas Sui Ambawang, Lingga, Sui Raya, Korpri, Sui Kakap, Teluk Pakedai, Terentang, Kubu dan Batu Ampar. Selanjutnya data pemberian oralit  pada kasus  diare pada semua kelompok umur perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah .


Rata-rata pemakaian Zinc pada pengobatan diare pada  kelompok umur di Kabupaten Kubu Raya sebesar 8.9 Tablet seharusnya 10 tablet. Ada tujuh  puskesmas yang  memberikan zinc 10 tablet, yaitu Puskesmas Parit timur, Sui Raya, Korpri, Sui Kakap, Teluk Pakedai,  Kubu dan Sui Kerawang. Tujuh puskesmas yang memberikan zinc lebih dari 10 tablet karena puskesmas tersebut memberikan zinc pada semua kelompok umur sementara menurut program zinc diberikan pada anak balita.  Selanjutnya data pemberian zinc  pada kasus  diare pada  kelompok umur perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah

 Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.  Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi.
Demam Tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemic di Asia, Afrika latin, Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia. Penyakit ini tergolong penyakit menular yang  dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi.Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena  penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World  Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus  demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di  daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000  penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.Umur penderita yang  terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus

Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan  penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis  pasti.Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui  pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena  tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa  penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya  pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. Sementara di puskesmas yang ada di Kabupaten Kubu Raya belum didukung oleh laboratorium yang memadai, sehingga kasus yang ada merupakan kasus suspek berdasarkan gejala, Adapun kasus suspek  demam typoid  di Kabupaten Kubu Raya tahun 2013 berjumlah 1.918 kasus, selanjutnya suspek demam tifoid dapat dilihat dalam tabel di bawah.


E.     Kusta & Frambusia
Penyakit Kusta Tahun 2000 mempunyai arti penting bagi program pengendalian kusta. Pada tahun 2000, dunia dan khususnya negara kita Indonesia berhasil mencapai status eliminasi. Eliminasi didefinisikan sebagai pencapaian jumlah penderita terdaftar kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian, sejak tahun tersebut di tingkat dunia maupun nasional, kusta bukan lagi menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat. Diagnosis dini dan pengobatan dengan menggunakan MDT (Multi Drug Therapy) merupakan kunci utama dalam keberhasilan mengeliminasi kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat. Pengobatan MDT berhasil menurunkan beban penyakit kusta dunia secara dramatis dari 5,2 juta kasus terdaftar pada tahun 1985 menjadi 192.246 kasus pada akhir tahun 2010. Di Indonesia sendiri, pengobatan dengan MDT berhasil menurunkan 84,6% kasus. Dari 126.221 kasus terdaftar pada tahun 1985 menjadi 20.023 kasus pada akhir tahun 2011. Sejak tercapainya status eliminasi kusta, situasi kusta di Indonesia menunjukkan kondisi yang relatif statis. Hal ini dapat terlihat dari angka penemuan kasus baru kusta yang berkisar antara 7 hingga 8 per 100.000 penduduk per tahunnya. Begitu pula halnya dengan angka penderita terdaftar yang berkisar antara 0,8 hingga 0,9 per 10.000 penduduk. Adapun kegiatan pokok pencapaian program pengendalian penyakit kusta dari tahun 2009 sampai 2013 dapat dilihat dalam tabel dibawah. Pada umumnya capaian kasus kusta dari tahun 2009 sampai 2013 meningkat, baik kasus anak, proporsi cacat dan dan puskesmas yang melayanai pengobatan kusta.


Sementara kasus Kusta menurut Puskesmas pada tahun 2013  puskesmas yang paling banyak menemukan kasus adalah puskesmas sui Durian sebanayak 5 kasus sementara puskesmas lainnya menemukan masing-masing satu kasus, untuk lebih lanjut data kasus perpuskesmas dapat dilihat dalam tabel berikut ini.


Penemuan kasus Kusta di Kubu Raya dari tahun 2008 sampai 2013 cenderung meningkat, sementara data tahun 2013 belum semua puskesmas melaporkan jumlah kasusnya. Kegiatan penjaringan yang dilakukan oleh petugas puskesmas masih pasif dan tenaga puskesmas yang ada belum terlatih sehingga untuk melakukan diagnose masih menunggu konfermasi dari wasor kusta kabupaten, yang telah dilatih sebagai wasor kusta. Kasus yang ditemukan masih banyak yang tipe MB dari pada tipe PB, sehingga diperkirakan masih banyak penularan yang terjadi dengan lebih banyak ditemukan kusta tipe MB.  Selanjutnya data kasus kusta dapat dilihat dalam bentuk grafik dibawah.


Grafik dibawah  menunjukan angka penemuan baru kasus kusta (CDR) berdasarkan Tahun penemuan dari tahun 2008 sampai tahun 2013, pada tahun 2012 CDR tertinggi  sebesar 3,1 %  dan pada tahun 2013 CDR sebesar 2,8 %., dari data tersebut  menggambarkan tingkat endemisitas penyakit kusta di suatu daerah dan tingkat keaktifan petugas dalam penemuan penderita kusta di wilayah kerjanya, Berdasarkan jumlah puskesmas yang menemukan kasus baru penyakit kusta terjadi peningkatan dari tahun 2008 sampai tahun 2013. Selanjutnya data CDR pertahun dapat dilihat dalam grafik dibawah.


Untuk data CDR perpuskesmas dapat dilihat dalam grafik dibawah CDR tertinggi ada di puskesmas Sui  Kerawang, selanjutnya data CDR perpuskesmas tahun 2013 dapat dilihat dalam grafik dibawah .


Tingkat endemisitas penyakit kusta di Kabupaten Kubu Raya terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, dimana Prevalensi Rate pada tahun 2008 sebesar 0,4 per 10.000 penduduk, 2010 Prevalensi Rate sebesar 0.6 per 10.000 penduduk dan pada tahun 2013 Prevanlensi Rate sebesar 0.23 per 10.000 penduduk sedangkan untuk target Nasional Program pemberantasan penyakit kusta Prevalensi Rate harus di bawah dari 1 per 10.000 penduduk, dari data tersebut Kabupaten Kubu Raya masih dibawah target  1 per 10.000 penduduk maka Kabupaten Kubu Raya masih termasuk daerah yang tingkat endemisitasnya rendah / penularan penyakit kusta yang masih rendah. Namun demikian ada area yang merupakan basih kusta yang penularannya masih tinggi.


. Grafik dibawahmenunjukan  Proporsi Cacat Tingkat 2 Kusta dan Proporsi Anak di antara Kasus Baru Tahun 2008 sd 2012 Dari grafik dibawah dapat diketahui bahwa proporsi penderita anak di antara kasus baru lebih tinggi  dari 2 % dibanding data tahun sebelumnya sedangkan proporsi penderita cacat kusta tingkat 2 diantara kasus baru menurun tetapi masih tinggi jika dibandingkan dengan standar yang diharapan yaitu < 5 %.


Pengendalian Frambusia
Frambusia di Indonesia Seperti halnya penyakit kusta, penyakit frambusia juga merupakan penyakit yang utamanya mengenai jaringan kulit. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian. Namun demikian bila tidak ditangani dengan baik frambusia dapat menimbulkan kecacatan. Frambusia biasanya terjadi di daerah yang sulit dijangkau (end of the road) oleh pelayanan kesehatan. Masyarakat miskin dengan kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan yang jelek sering terinfeksi oleh penyakit ini. Secara nasional angka prevalensi frambusia sudah kurang dari 1 per 100.000 penduduk, namun hingga saat ini frambusia masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Prevalensi penyakit frambusia turun secara bermakna dalam kurun waktu 1985 hingga 1995. Pada periode itu, angka prevalensi frambusia turun secara dramatis dari 2,21 per 100.000 penduduk menjadi hampir mendekati 0. Setelah tahun 1995, penurunan prevalensi frambusia berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain upaya pemberantasan yang tidak adekuat karena program frambusia bukan merupakan program prioritas. Kabupaten kubu raya sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 ini belum ditemukan kasus frambusia, untuk menyatakan Kabupaten Kubu Raya bebas Frambusia maka  selama 3 tahun berturut-turut hasil survei serologi menunjukkan hasil yang baik (negatif) maka kabupaten tersebut berhak mendapat sertifikat bebas frambusia dari WHO. Semtara Kabupaten Kubu Raya sampai saat ini belum pernah melakukan survey serologi sehingga walau pun tidak ada kasus maka belum bisa dinyatakan bebas frambusia.  Untuk itu kedepan diharapkan ada dana untuk melakukan suvei serologi.
.
PENGENDALIAN Penyakit Bersumber Binatang

A.    Malaria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Malaria di dunia berdasarkan The World Malaria Report 2011 sebanyak lebih dari 655 ribu orang meninggal pada tahun 2010 dimana 81% terjadi di Afrika, dan 6% nya terjadi di Asia. Secara keseluruhan terdapat 3,3 Milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko (endemis) malaria yang terdapat di 106 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi transmisi malaria (Berisiko Malaria/Risk- Malaria), dimana pada tahun 2010 terdapat sekitar 229.819 kasus malaria positif, sedangkan tahun 2011 menjadi 256.592 kasus. Upaya penanggulangan malaria telah dilakukan sejak lama, dimulai pada dekade tahun 1952 -1959 yang pada akhir periode ini Presiden Soekarno mencanangkan program pembasmian malaria yang dikenal dengan sebutan “Komando Operasi Pembasmian Malaria” (KOPEM). Tanggal 12 November tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional. Penggalakkan pemberantasan malaria melalui gerakan masyarakat yang dikenal dengan Gerakan Berantas Kembali Malaria atau ”Gebrak Malaria” telah dicetuskan pada tahun 2000. Gerakan ini merupakan embrio pengendalian malaria yang berbasis kemitraan berbagai sektor dengan slogan “Ayo Berantas Malaria”. Berdasarkan Gebrak Malaria tersebut, dalam rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia tahun 2012 dibentuklah Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) pada tanggal 12 April 2012. Anggota FNGM ini berasal dari berbagai bidang, sektor dan institusi. FNGM ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan program pengendalian Malaria menuju eliminasi. Pengendalian malaria di Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang hidup sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Strategi yang ditempuh adalah pencapaian eliminasi secara bertahap dengan sasaran dan target sebagai berikut : 1. Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali, dan pulau Batam pada tahun 2010; 2. Pulau Jawa, Provinsi NAD, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015; 3. Pulau Sumatera (Kecuali Provinsi NAD dan Provinsi Kepulauan Riau), Provinsi NTB, Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan 4. Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi NTT dan Provinsi Maluku Utara, pada tahun 2030.
Kebijakan dalam pengendalian malaria adalah :  1. Semua penderita yang dicurigai malaria harus dikonfirmasi laboratorium baik menggunakan mikroskop maupun test diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT) 2. Pengobatan menggunakan terapi kombinasi Artemisinin (Artemisinin based Combination Therapy / ACT) 3. Pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, penyemprotan dinding rumah (Indoor Residual Spraying/IRS). 4. Kemitraan melalui Forum Gebrak Malaria.
 Endemisitas Malaria Stratifikasi endemisitas wilayah di Indonesia dibagi menjadi : • Endemis Tinggi adalah API > 5 per 1.000 penduduk • Endemis Sedang adalah API berkisar antara 1 – < 5 per 1.000 penduduk  • Endemis Rendah adalah API 0 - 1 per 1.000 penduduk  • Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penularan malaria (Daerah pembebasan malaria) atau API = 0, seperti Provinsi DKI Jakarta.


Angka Kesakitan Malaria tingkat Kabupaten Kubu Raya kasus malaria selama tahun 2011 – 2013 cenderung menurun yaitu pada tahun 2011 angka Annual Paracite Incidence (API/ Insidens parasit malaria) sebesar 0.4/1.000 menjadi 0.21/1.000 penduduk pada tahun 2012 dan menjadi 0.14/1.000 penduduk pada tahun 2013. Angka ini cukup bermakna.
 karena diikuti dengan intensifikasi upaya pengendalian malaria yang salah satu hasilnya adalah peningkatan cakupan pemeriksaan sediaan darah atau konfirmasi laboratorium (lihat grafik





Dari data yang dilaporkan ke Subdit Malaria diperoleh gambaran peta endemisitas malaria sebagai berikut: Gambar 2.C.3.1 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2010 Gambar 2.C.3.2 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2011

124. 124 Gambar 2.C.3.3 Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2012 Berdasarkan peta endemisitas tersebut diatas diperoleh gambaran tentang situasi endemisitas malaria di kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010 - 2012. Sedangkan persentase kab/kota berdasarkan tingkat endemisitasnya pada tahun 2010, 2011 dan 2012 dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.C.3.1 Tingkat Endemisitas Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan API Tahun 2010 sd 2012 Tingkat Endemisitas Kab/Kota 2010 2011 2012 Rendah 65.86 % 71 % 71.22% Sedang 17.17 % 17 % 15.90% Tinggi 16.97 % 12 % 12.88% Dari gambaran peta dan tabel endemisitas malaria di Kabupaten/Kota terlihat penurunan jumlah daerah endemis tinggi dimana pada tahun 2009 kabupaten/kota yang termasuk daerah endemis tinggi sebanyak 24,1 %, pada tahun 2010 sebanyak 16,97% dan pada tahun 2012 sebanyak 12,88 %. Data kasus tahun 2012 mempunyai tingkat kelengkapan laporan sebesar 80%. Dari peta endemisitas terlihat bahwa papua, papua barat dan NTT masih berwarna merah (endemis tinggi) karena kondisi geografis dan banyak daerah terpencil (menyebabkan kesulitan untuk akses ke layanan kesehatan), keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana. b. Angka Kesakitan Malaria Secara nasional kasus malaria selama tahun 2005 – 2012 cenderung menurun yaitu pada tahun 2005 angka Annual Paracite Incidence (API/ Insidens parasit malaria) sebesar 4,10/1.000 menjadi 1,69/1.000 penduduk pada tahun 2012. Angka ini cukup bermakna karena diikuti dengan intensifikasi upaya pengendalian malaria yang salah satu hasilnya adalah peningkatan cakupan pemeriksaan sediaan darah atau konfirmasi laboratorium (lihat grafik

125. 125 Persentase Pemeriksaan Sediaan darah suspek Malaria tahun 2008 sd 2012). Angka kematian malaria tahun 2012 di Indonesia sebanyak 252 orang. Dalam Renstra Kemenkes RI tahun 2010 sd 2014, malaria menjadi salah satu indikator kinerja kementerian kesehatan dengan target dan capaian sebagai berikut : Tabel 2.C.3.2 Target dan capaian Indikator P2 Malaria pada Renstra Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010 sd 2014 Indikator Renstra Kemenkes RI Dalam Pengendalian Malaria : Angka Penemuan Kasus Malaria Per 1.000 Penduduk (API per 1.000 Penduduk) TAHUN 2010 TAHUN 2011 TAHUN 2012 TAHUN 2013 TAHUN 2014 Target 2 1,75 1,5 1,25 1 Capaian 1,96 1,75 1,69 Berdasarkan tabel di atas, API (Annual Paracite Incident) per 1.000 penduduk telah mengalami penurunan walaupun target renstra tahun 2012 sebesar 1,5 tidak tercapai. API tidak mencapai target karena: 1. Kelengkapan laporan meningkat, yaitu sebesar 87% (dibandingkan dari tahun sebelumnya) 2. Kesadaraan Health seeking behaviour meningkat sehingga masyarakat yang sakit banyak yang datang ke Unit Layanan Kesehatan. Dan diikuti dengan pengobatan bagi penderita positif malaria 3. Persentase Konfirmasi laboratorium meningkat menjadi 93 %. Sebaran jumlah kasus malaria menurut provinsi tahun 2012 dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 2.C.3.1 Distribusi Jumlah Kasus Malaria per Provinsi di Indonesia Tahun 2012

126. 126 Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat, bahwa jumlah kasus malaria paling tinggi masih di daerah timur Indonesia seperti NTT, Papua dan Papua Barat, namun jika dilihat API nya, maka yang tertinggi adalah Provinsi Papua. c. Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi Laboratorium) Grafik 2.C.3.2 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah Suspeck Malaria Tahun 2008 sd 2012 Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium belum semua suspek malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya baik secara mikroskopis (laboratorium) maupun dengan Rapid Diagnosis Test (RDT) Malaria. Dari tahun 2008 sd 2012 pemeriksaan sediaan darah terhadap jumlah suspek malaria terus meningkat secara signifikan yaitu pada tahun 2008 sebesar 48% sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 93%. d. Persentase Penderita Malaria yang Diobati Persentase penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita malaria yang diobati sesuai pengobatan standar dalam kurun waktu 1 tahun dibandingkan dengan jumlah kasus malaria positif dalam tahun tersebut. Pencapaian persentase penderita malaria yang diobati ACT pada tahun 2012adalah sebesar 81,78% yaitu setiap penderita tersangka malaria dilakukan pemeriksaan sediaan darah dan apabila hasilnya positif maka diobati menggunakan ACT. Angka ini meningkat dibanding tahun 2010 yang baru mencapai 66,3%. Pengobatan terhadap penderita positif malaria belum 100% dikarenakan: masih adanya pengobatan malaria dengan menggunakan obat selain ACT (misal khloroquin) dan ACT tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil trimester pertama.

Upaya Pencegahan Penularan Malaria Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi faktor resiko penularan malaria. Dalam rangka pencapaian salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDGs), yaitu maka kegiatan program pengendalian malaria terkait yang telah dijalankan saat ini adalah dengan pembagian kelambu yang bertujuan untuk melindungi penduduk dari

127. 127 gigitan nyamuk penyebab penyakit malaria terutama untuk balita dan ibu hamil. Grafik 2.C.3.3 Jumlah Kelambu yang sudah Didistribusikan ke Masyarakat Tahun 2008 sd 2012 Saat ini di Indonesia, jumlah penduduk berisiko adalah sekitar 149 juta jiwa dan jumlah kelambu yang telah tersedia dimasyarakat sampai dengan tahun 2012 sekitar 6,4 juta kelambu. Jumlah kelambu tersedia dimasyarakat adalah jumlah kelambu yang sudah didistribusikan dikurangi dengan jumlah kelambu yang sudah kadaluarsa (lebih dari 3 tahun sejak didistribusikan). Apabila 1 kelambu diperkirakan mampu melindungi 2 sd 3 orang dari anggota keluarga maka sekitar 12,8 sd 19,2 juta jiwa yang terlindungi dengan kelambu. Pada tahun 2012 jumlah kelambu yang dibagikan sebanyak 642.210 buah, dibagikan ke seluruh Provinsi di Indonesia kecuali : DKI Jakarta, Jawa Barat dan Aceh. Kebijakan Pendistribusian kelambu malaria Indonesia saat ini adalah : 1) Penggunaan kelambu berinsektisida harus didasarkan pada data penyakit malaria dan memperhatikan sosial budaya masyarakat 2) Pelaksanaan distribusi dan penggunaan kelambu dilakukan secara rutin dan kampanye, dengan pendekatan integrasi antara lintas program, lintas sektor serta mitra terkait. 3) Kelambu berinsektisida yang digunakan harus mengacu pada ketentuan teknis 4) Seluruh penduduk berisiko terlindungi dari penularan malaria melalui penggunaan kelambu berinsektisida 5) Penggunaan kelambu berinsektisida, diutamakan yang efektifitasnya lama (LLIN’s).

128. 128 Sedangkan strategi pendistribusian kelambu dilakukan dengan : 1) Menggalang Kemitraan dengan Lintas program, Lintas sektor, LSM/Civil Society, Swasta dan Masyarakat dalam perencanaan, pengadaan, distribusi dan pemantauan penggunaan. 2) Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) agar masyarakat bersedia menggunakan kelambu berinsektisida sehingga penggunaan kelambu dianggap sebagai kebutuhan (budaya). 3) Memberdayakan Masyarakat hingga mampu membeli kelambu berinsektisida sendiri antara lain melalui sistim bergulir (revolving fund) atau arisan. 4) Mendukung ketersediaan dan kemudahan masyarakat untuk mendorong & memperoleh secara gratis dan ataumembeli kelambu berinsektisida, serta 5) Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan dalam pendistribusian kelambu di masyarakat. Selain pendistribusian kelambu kepada populasi berisiko, upaya pencegahan penularan malaria lainnya adalah penyemprotan rumah dengan menggunakan insektisida atau indoor residual spraying. f. Dukungan Kegiatan Pengendalian Malaria 1) Forum Gebrak Malaria / Roll Back Malaria Upaya penanggulangan malaria tidak berhasil optimal bila hanya bertumpu pada sektor kesehatan semata karena berkaitan dengan berbagai aspek lainnya. Hal inilah yang mendasari negara-negara WHO berkomitmen untuk meluncurkan gerakan intensifikasi pengendalian malaria dengan kemitraan global, Roll Back Malaria Initiative (RBMI) pada Oktober 1998. Sebagai bentuk operasional dari RBMI, di Indonesia upaya pemberantasan malaria melalui kemitraan dengan seluruh komponen masyarakat ini dikenal sebagai Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria), dicanangkan oleh Menteri Kesehatan pada 8 April 2000 di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lebih lanjut, Indonesia bertekad untuk melakukan eliminasi malaria pada 2030, sesuai dengan Keputusan Menkes No.293/Menkes/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi malaria di Indonesia. Pelaksanaan Gebrak Malaria di berbagai daerah harus dilaksanakan secara intensif dan komprehensif dengan melibatkan berbagai sektor, keahlian, organisasi profesi dan organisasi kemasyarakatan terkait sebagai mitra. Oleh karena itu, pada rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia tahun 2012, dibentuklah Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) pada tanggal 12 April 2012. Anggota FNGM ini berasal dari berbagai bidang, sektor dan institusi. FNGM ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan program pengendalian Malaria menuju eliminasi. Forum Nasional Gebrak Malaria merupakan forum koordinasi lintas program dan lintas sektor yang bertugas membantu Menteri Kesehatan melalui Direktorat Jenderal PP dan PL untuk merumuskan berbagai kebijakan dan strategi dalam menggerakkan kegiatan pengendalian malaria, serta menggalang kemitraan dengan berbagai stakeholder terkait menuju

129. 129 tercapainya eliminasi malaria tahun 2030. Forum ini terbagi menjadi enam komisi, yaitu Komisi Diagnosis dan Pengobatan Malaria; Komisi Laboratorium; Komisi Penilaian Eliminasi; Komisi Pengendalian Faktor Risiko; Komisi Kemitraan; dan Komisi Operasional Riset. Secara umum, Forum Nasional Gebrak Malaria memiliki tugas untuk melakukan kajian ilmiah tentang pelaksanaan diagnosis dan pengobatan malaria terkini guna merekomendasikan strategi dan pedoman penatalaksanaan kasus malaria yang efektif dan aman; melakukan kajian ilmiah tentang kualitas laboratorium dan pemeriksaan malaria serta merekomendasikan hasilnya; melakukan advokasi dan sosialisasi ditingkat pusat dan daerah untuk meningkatkan kemitraan dan komitmen; melakukan telaah terhadap hasil penilaian tim monitoring eliminasi di Kabupaten/Kota atau Provinsi dan mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk memperoleh sertifikat bebas malaria tingkat wilayah dan kepada WHO untuk tingkat nasional apabila memenuhi persyaratan; melakukan telaah kebijakan pengendalian vektor malaria dan faktor risiko lainnya; serta merumuskan, memfasilitasi dan menggerakkan kerjasama lintas program dan lintas sektor. 2) Pusat Pengendalian Malaria (Malaria Center) Pusat Pengendalian Malaria (Malaria Center) adalah wadah yang dibentuk atas inisiatif dan komitmen Pemerintah Daerah sebagai pusat koordinasi kegiatan pengendalian malaria dari berbagai aspek menuju eliminasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait dibawah koordinasi Kepala Daerah. Kepala daerah, seperti Gubernur di tingkat provinsi dan Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota, bertanggung jawab untuk kegiatan Malaria Center. Tujuan Pendirian Malaria center adalah mendukung pemerintah daerah dalam upaya pengendalian malaria menuju percepatan eliminasi malaria. Beberapa Malaria Center telah didirikan di Provinsi Maluku Utara dan beberapa kabupaten di Maluku Utara, yaitu Tidore Kepulauan, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Halmahera Tengah, Ternate, Halmahera Timur dan Kepulauan Sula, serta Provinsi Sumatera Utara yaitu Kabupaten Mandailing Natal. AIDS, TB dan Malaria Center di Provinsi Aceh, di Malaria Center juga memiliki fungsi sebagai pusat pelatihan di beberapa Provinsi.

130. 130 Berikut adalah foto - foto gedung Malaria Center: Gambar 2.C.3.4 Malaria Center di Halmahera Selatan Maluku Utara Gambar 2.C.3.5 Malaria Center di Mandailing Natal Sumatera Utara Gambar 2.C.3.6 ATM Center di Aceh

131. 131 3) Pos Malaria Desa (Posmaldes) Pos malaria desa atau posmaldes merupakan tempat untuk pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian malaria, dibentuk secara mandiri dan berkelanjutan oleh dan untuk masyarakat. Sampai dengan tahun 2012 telah dibentuk 2000 posmaldes di daerah di Indonesia Timur dan NTB. Serta 225 Posmaldes di wilayah Kalimantan dan Sulawesi. Tujuan dari pendirian posmaldes adalah untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian malaria dengan meningkatkan penemuan kasus dan pengobatan melalui partisipasi aktif dari masyarakat. Ditargetkan pada tahun 2013 akan didirikan sebanyak 80 pos malaria desa di daerah Kalimantan dan Sulawesi. Berikut adalah foto – foto Pos Malaria Desa dan kadernya: Gambar 2.C.3.7 Pos Malaria Desa dan Kader Posmaldes Data Kematian Malaria Tahun 2012

B.    Arbovirosis
1.       Demam Berdarah Dengue Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp. Aedes aegypti dan Aedes albopictus merupakan vektor utama penyakit DBD.


Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2013 sebanyak 127 kasus dengan jumlah kematian 2 orang (IR= 24,0 per 100.000 penduduk dan CFR= 1,60 %). Selama tahun 2013 terdapat 1 Puskesmas yang melaporkan kejadian KLB yaitu puskesmas Sui Kerawang karena sebelumnya daerah ini belum ada kasus DBD. Jumlah kasus DBD yang terbanyak ada di Puskemsa Sui Durian (45 kasus), Puskesmas Rasau jaya ( 22 kasus)puskesmas Sui Raya dalam (16 kasus), Puskesmas  sui Ambawang (15 kasus). Puskesmas-Puskesmas  tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi sehingga merupakan salah satu faktor resiko penyebaran DBD.
Sedangkan kematian ada 2 yaitu di Puskesmas Sui Ambawang dan puskesmas Rasau Jaya. Kematian ini dari audit karena keterlambatan orang tua membawa anaknya kesarana kesehatan.
Angka Kesakitan/ IR DBD per Puskesmas Tahun 2013 Target nasional angka kesakitan (IR) DBD tahun 2013 yaitu < 52 per 100.000 penduduk. Terdapat 2 puskesmas  yang memiliki angka kesakitan DBD di atas target nasional tahun 2013 yaitu Puskesmas Sui Kerawang dan puskesmas Rasau Jaya.

Sedangkan kasus DBD dalam kurun waktu lima tahun seperti terlihat dalam grafik dibawah ini,  kasus terbanyak pada tahun 2009 sebanyak 963 kasus sedangkan kasus pada tahun berikutnya  ada kemungkinan kecenderungan untuk meningkat dan perlu adanya kewaspadaan pola lima tahunan penyakit DBD yaitu pada tahun 2014.


Angka Bebas Jentik (ABJ) Tahun 2009 sd 2013 Angka Bebas Jentik (ABJ) sejak tahun 2009 sampai dengan 2013 belum mencapai target nasional (≥ 95%). Namun validitas data ABJ di atas belum dapat dijadikan ukuran pasti yang menggambarkan kepadatan jentik secara Kabupaten. Hal ini dikarenakan pelaporan data ABJ belum mencakup seluruh wilayah Desa di kabupaten Kubu Raya. Sebagian besar puskesmas tidak melaksanakan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) secara rutin, disamping itu kegiatan kader Juru Pemantau Jentik (JUMANTIK) tidak berjalan disebagian besar wilayah dikarenakan keterbatasan alokasi anggaran di daerah untuk kedua kegiatan tersebut.Data ABJ di Kabupaten Kubu Raya belum ada satu puskesmaspun yang telah mencapai target  yang ditetapkan sebesar  95 %. Untuk selanjutnya data ABJ Perpuskemas dapat dilihat dalam data dibawah




Dari jenis kelamin ternyata lebih banyak jenis kelamin perempuan  (53%) di banding jenis kelamin laki-laki  (47 %). Dan disamping itu kegiatan perempuan lebih bayak di dalam gedung jika di bandingkan denganlaki-laki.


Jumlah persentase kasus menurut golongan umur yang terbanyak usia 5-14 tahun sebanyak 47.2 % yaitu dimana pada usia ini adalah usia anak sekolah dan kemungkinan terbesar terkena di sekolah, untuk itu perlu dilakukan pengasapan di sekolah dari tingkat TK sampai SMP.

Demam Chikungunya
Demam Chikungunya infeksi virus akut yang disebabkan virus Chik yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Alphavirus famili Togaviridae.
Berdasarkan hasil investigasi diduga telah terjadi KLB penyakit chikungunya di Kabupaten Kubu Raya, khususnya di , Desa Jawa tengah, Kecamatan Sui Ambawang. Penyebaran KLB kasus chikungunya ini berada diwilayah RT.01 RW 02 dan RT.02 RW.03, dengan jumlah kasus mulai dari tanggal 12 September 2011 sampai dengan tanggal 10 Oktober 2011 sebanyak 41 penderita dan tidak ada kematian karena penyakit ini.


Tahun 2012 dan tahun 2013 tidak ada laporan adanya kasus kejadian demam Chikungunya dalam kurun waktu 2 tahun terakhir dan hingga saat ini belum pernah dilaporkan adanya kematian akibat Chikungunya. Faktor penyebab turunnya kasus antara lain kondisi cuaca yang relatif kering dengan curah hujan yang rendah. Adanya community imun, jika pada lokasi pernah terkena chikungunya maka dalam jangka waktu yang lama kurang lebih 15 tahun ke depan baru akan muncul, juga kemungkinan ada kasus chikungunya tapi tidak dilaporkan oleh puskesmas.

C.    Japanese Encephalitis
Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang akut pada otak yang disebabkan oleh virus Japanense Encephalitis yang tergolong Flavivirus dengan dengan gejala demam, kaku pada leher, kejang dan gangguan keseimbangan serta koordinasi. JE merupakan penyakit yang berakibat fatal, hasil penelitian di RS Sanglah Bali apabila penderita sembuh dapat menimbulkan sequele (kecacatan) ± 46% dengan kematian (CFR) 16%, reservoir utama (amplifier) virus JE adalah babi. Virus JE ditularkan ke manusia lewat gigitan nyamuk. Culex tritaeniorhynchus merupakan vektor yang paling dominan. Data kasus JE di Indonesia sampai saat ini belum secara rutin diperoleh melalui surveilans JE di Rumah Sakit (RS) hanya dalam bentuk kegiatan penelitian survey serologi baik terhadap manusia dan reservoir-nya yang dilakukan oleh Badan Litbangkes dan Ditjen PP & PL. Sampai dengan tahun 2013 belum pernah ditemukan Japanese Encephalitis (JE) .

D.    Filariasis, Schistosomiasis dan kecacingan
Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah, adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk . Penyakit ini tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Dapat dan menyerang semua golongan tanpa mengenal usia dan jenis kelamin. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara. Penyakit kaki gajah merupakan salah satu penyakit yang terabaikan (NTD/Neglelected Tropical Disease). Dapat menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial dan penurunan produktivitas penderitanya dan lingkungannya. Diperkirakan kerugian ekonomi mencapai 43 trilyun rupiah (Kementerian Kesehatan, 2009), jika tidak dilakukan Pemberian Obat Massal Pencegahan filariasis. Dengan berbagai akibat tersebut, saat ini penyakit kaki gajah telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi, Di prakarsai oleh WHO sejak 1999, pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”.
Filariasis dilaporkan pertama kali di Indonesia oleh Haga dan Van Eecke pada tahun 1889. Dari ketiga jenis cacing filaria penyebab filariasis, Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua.
Dalam perkembangannya, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis. Distribusi vektor filariasis menurut lokasi spesies mikrofilaria ditemukan di berbagai wilayah
Upaya pemberantasan penyakit kaki Gajah  filariasis di  Kabupaten Kubu Raya sudah dimulai sejak masih bergabung dengan Kabupaten Pontianak yang dilaksanakan sejak   tahun 1980 melalui pengobatan massal di lokasi endemis, dengan dosis rendah, dimana pengobatan ini dimaksudkan untuk memberantas mikrofilaria dalam darah manusia sehingga rantai penularan menjadi terputus dan tidak ada penularan lagi.  Namun hasil pengobatan massal tersebut tidak ditindaklanjuti dengan survei darah jari untuk evaluasi. Hasil kegiatan Pemberantasan Filaria sejak tahun 1980 sampai 1994 tidak ada arsip datanya, baik di Dinas Kesehatan Kabupaten Pontianak maupun di Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat.
Pada tahun 1997/1998 dilakukan survey evaluasi di Desa Punggur Kecil ~ Kecamatan Sungai Kakap dengan hasil Mf rate 0%.  Tahun 1999 dilakukan survei evaluasi di Kecamatan Teluk Pakedai yang meliputi 3 desa, dilakukan oleh Subdit Filarisasis dan Schistosomoasis bersama Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Pontianak,  hasil yang didapat menunjukkan Mf rate rata-rata  3,92 % dengan spesies Brugia Malayi. Namun hasil survei tersebut tidak disampaikan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pontianak, sehingga tidak dilakukan tindak lanjut  terhadap hasil survei tersebut.
Pada Tahun 2001 dilakukan survei darah jari di Desa Teluk Bayur  Kecamatan Terentang hasil yang didapat menunjukkan Mf rate 1,97 %. Hasil tersebut ditindaklanjuti dengan pengobatan massal selama 40 minggu dengan dosis rendah 100 mg/minngu; hasil pengobatan  menunjukan  penduduk yang minum obat sampai 40 minggu sebesar 78,7 %. Pada Tahun 2003  dilakukan survei evaluasi terhadap pengobatan massal tersebut;  Mf rate-nya masih menunjukkan diatas 1 %  yaitu  1,47% dan  tahun 2003  diikutsertakan dalam pengobatan massal dosis tinggi selama 5 tahun. Hasil survei yang dilakukan   Tahun 1997 s/d 1998.
  Pada tahun 2003 dilakukan survei darah jari dalam rangka menentukan daerah endemis filaria di Desa Sui. Asam – Kecamatan Sui. Raya, Desa Selat Remis Kecamatan Teluk Pakedai  dan Desa Rasau  Jaya I Kecamatan Rasau Jaya.  Hasil survei di Desa Sui Asam  memberikan hasil Mf rate 6,6 %, sehingga wilayah kerja Puskesmas Sui Asam dinyatakan sebagai daerah endemis dan akan dilakukan pengobatan massal dosis tinggi pada tahun 2003.
Hasil survei darah jari tahun 2003 di Desa Selat Remis  Kecamatan Teluk Pakedai memberikan hasil Mf rate 2,1 % dan hasil survey evaluasi tahun 1999 di tiga desa memberikan hasil Mf rate 2,46 % dan Kecamatan Teluk Pakedai dinyatakan sebagai daerah Endemis Filaria; sehingga direncanakan akan  dilakukan pengobatan massal  pada tahun 2004 dengan dosis tinggi se - Kecamatan Teluk Pakedai yang meliputi 13 Desa. Sedangkan hasil survey Desa Rasau Jaya I Kecamatan Rasau Jaya  memberikan hasil Mf rate 0%.
Sementara kepadatan rata-rata mikrofilaria di Desa Selat Remis adalah 12,39/20 cµ mm, hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kepadatan mikofilaria di Desa Sui. Asam (9,5/20 cµ mm) dan kepadatan rata-rata di Kabupaten Pontianak (10,23 cµ mm). Dengan kepadatan rata-rata mikrofilaria yang cukup tinggi ini, perlu diwaspadai efek samping yang akan timbul pada saat pengobatan massal.
Pengobatan di Kabupaten Kubu Raya dimulai dari Kabupaten Pontianak, pengobatan secara missal dimulai secara bertahap mulai tahun 2002 dan masih berlanjut sampai sekarang (2013), Ada beberapa puskesmas yang telah menyelesaikan pengobatan yaitu Puskesmas Sui Radak, Terentang, Sui Asam, Sui Kerawang, batu Ampar, Padang Tikar, Teluk Pakedai, Kubu, Rasau Jaya, Sui Rengas, Sui Kakap dan Punggur. Sedangkan Puskesmas yang sedang melakukan pengobatan sampai tahun ke 4 adalah Puskesmas Parit Timur, Kuala Mandor B, Linggga dan Sui Ambawang, sedangkan Puskesmas yang belum melaksanakan pengobatan adalah Puskesmas Sui Durian, Sui Raya Dalam dan Korpri. Jadi pelaksanaan Pengobatan filarial masih dilaksanakan perwilayah dimana sebagai pelaksana atau IU (implementation unit) penanganan filariasis adalah setingkat Puskesmas di karenakan kurangnya dukungan dana.
Dan dari hasil Transmission Assesment Survey (TAS) dan rekomomendasi yang diberikan untuk Kabupaten kubu Raya harus melaksanakan POMP Filariasis 2 putaran. Dan karena Kabupaten Kubu Raya melaksanakn POMP Filariasis tidak seluruh Kabupaten maka Pusat menyarankan dan merekomedasikan untuk melaksanakan POMP Filariasis diulang untuk seluruh Kabupaten.
 Sementara Sejak tahun 2005, sebagai unit pelaksana atau IU (implementation unit) penanganan filariasis adalah setingkat kabupaten/kota. Artinya, satuan wilayah terkecil dalam program ini adalah kabupaten/kota, baik untuk penentuan endemisitas maupun pelaksanaan POMP filariasis. Bila sebuah kabupaten/kota sudah endemis filariasis, maka kegiatan POMP filariasis harus segera dilaksanakan. Agar mencapai hasil optimal sesuai dengan kebijakan nasional eliminasi filariasis dilaksanakan dengan memutus rantai penularan, yaitu dengan cara POMP filariasis untuk semua penduduk di kabupaten/kota tersebut kecuali anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil, orang yang sedang sakit berat, penderita kronis filariasis yang dalam serangan akut dan balita dengan marasmus/kwasiorkor dapat ditunda pengobatannya.
Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan darah jari di empat Puskesmas dengan hasil yang menunjukan MF rate lebih dari 1 % yaitu 5.03 %.Dari hasil pemeriksaan tersebut menunjukan bahwa di kabupaten kubu raya merupakan daerah endemis filarial. Seperti terlihat dalam tabel berikut.



Tahapan pengobatan  Filaria di Kabupaten Kubu Raya dimulai sejak masih bergabung dengan kabupaten Pontianak tahun 2002 dan masih terus dilaksanakan sampai sekarang, kalau merujuk pengobatan Filaria maka sebagai Implementasi Unit adalah Tingkat Kabupaten sementara Kabupaten Kubu raya masih mempergunakan Implementasi unit tingkat Puskesmas. Data pelaksanaan pengobatan menurut puskesmas seperti terlihat dalam tabel berikut.


Cakupan Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis Tahun 2013 seperti dalam tabel dibawah menunjukan adanya peningkatan cakupan pada tahun 2013.Target POMP filariasis pada tahun 2013 adalah 104.573 dan cakupan yang dicapai adalah 75.295 (72%) hasil ini diatas target yang ditetapkan sebesar 65 %, untuk meningkatkan cakupan perlu dilakukan advokasi terus menerus kepada pemangku kebijakan untuk mendapatkan komitmen dan kesinambungan penganggaran dalam upaya mencapai tujuan eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020.


Sementara  Kasus Klinis Filariasis sampai dengan tahun 2013 di Kabupaten Kubu Raya ada 52 kasus klinis filariasis. Jumlah tersebut belum menggambarkan situasi yang sebenarnya kemungkinan masih ada kasus lain yang belum dilaporkan sehingga masih perlu ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat.

b.    Pengendalian penyakit Schistosomiasis
Schistosomiasis atau penyakit demam keong adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing schistosoma (serkaria) cacing ini hidup dalam pembuluh darah vena manusia dan binatang mamalia di daerah tropik dan sub tropik. Cacing dewasa hidup di dalam vena mesenterica superior serta cabang- cabangnya, di Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu (Kabupaten Sigi), Napu dan Bada (Kabupaten Poso). Penyakit ini pertama ditemukan di Lindu pada tahun 1937 (Brug & Tesch), sedangkan hospes perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971 yakni berupa keong yang kemudian diidentifikasi oleh Davis dan Carney (1972) sebagai Oncomelania hupensis lindoensis, keong ini hidup ditempat-tempat yang becek terlindung dari terik matahari langsung.
Penyakit ini berbahaya, karena dapat menimbulkan kematian. Gejala klinis akut penyakit ini antara lain adalah urtikaria/dermatitis, demam, malaise, mual/muntah, diare. Pada tahap lanjut dapat menimbulkan sindroma disentri, ikterus, udema, ascites, hematemesis, anemia, hepato megali dan splenomegali. Akhirnya penderita dapat meninggal akibat kerusakan hepar yang irreversible atau kegagalan fungsi organ – organ vital.
Siklus Penularan Schistosomiasis Daur hidup Schistosoma japonicum,dimulai ketika terjadi proses infeksi pada manusia. Infeksi ini dimulai dari masuknya bentuk infektif (cercaria) menembus kulit pada waktu manusia masuk ke dalam air yang mengandung cercaria. Di dalam tubuh manusia, cecaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah , masuk kedalam jantung kanan, paru – paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah besar dan menjadi dewasa di dalam hati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena porta dan vena usus dan kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi. Telur dapat menembus keluar pembuluh darah, berimigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke dalam lumen usus untuk kemudian ditemukan di dalam tinja. Telur menetas dalam air,larva yang keluar disebut mirasidium. Mirasidium masuk ke dalam tubuh keong Oncomelania hupensis lindoensis dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II dan kemudian menghasilkan cercaria. (Hadidjaja, 2000).
Schistosomiasis atau penyakit demam keong di Kabupaten Kubu Raya belum ditemukan
c.     Pengendalia Kecacingan
Di Kubu Raya  masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacingan yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian. Cacingan menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.Prevalensi cacingan di Kabupaten Kubu Raya pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu dengan sanitasi yang buruk.

Prevalensi Cacingan Tahun 2013 dari hasil survey yang dilakukan dinas Kesehatan Kabupaten kubu Raya menunjukan  prevalensi cacingannya diatas 20%. Pada survey tersebut pemeriksaannya menggunakan eosin. Adapun data prevalensi dapat dilihat dalam tabel berikut.


E.     Pengendalian Vektor
Penyakit tular vektor masih menjadi masalah utama di Indonesia. Salah satu upaya preventif pengendalian penyakit tular vektor yaitu dengan melakukan pengendalian vektor. Selama tahun 2013, di Pengendalian Vektor telah dilakukan berbagai kegiatan, yang terbagi menjadi kegiatan peningkatan SDM entomolog kesehatan, pemetaan vektor dan survei entomologi.

a.    Peningkatan SDM entomologi
b.    Pemetaan vektor
c.     Survei entomologi

 a. Pemetaan Vektor (Mapping Vektor) Data pemetaan vektor diperoleh dari laporan konfirmasi hasil survei vektor yang dilaksanakan oleh timat Pusat dan Tingkat Provinsi serta Kabupaten dengan sumber dana dari APBN. Telah dilakukan pemetaan  Resistensi Ae. Aegypti di Kubu Raya, hasil pemetaan resistensi pada tahun 2013 yang dilaksanakan di Wilayah kerja Puskesmas Sui Durian ternyata hasilnya nyamuk tidak ada yang resisten terhadap insektisida
Pada saat terjadi KLB malaria di Puskemas Sui Kerawang desa Tanjung Beringin telah dilakukan Kegiatan Survai Cepat, Longitudinal Survei  dengan hasil kegiatan sebagai berikut
1.    Habitat Perkembangbiakan Nyamuk Anopheles
Habitat perkembangbiakan nyamuk Anopheles diamati dengan melakukan pencidukan larva pada semua tipe perairan yang ada di wilayah survei. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat dua tipe perairan yang positif larva Anopheles dan menjadi habitat perkembangbiakan larva Anopheles, antara lain kobakan yang ditumbuhi rumput dan lumut serta parit kecil (kanal cacing) bagi perairan perkebunan.


2.    Jenis dan kepadatan nyamuk Anopheles supec vektor malaria
Untuk mengetahui nyamuk Anopheles yang kontak dengan manusia (suspec vektor) dilakukan penangkapan nyamuk malam hari metode human landing collection (HLC), selama 12 jam antara jam 18.00 – 06.00. Hasil penangkapan nyamuk malam hari mendapatkan dua spesies Anopheles suspec vektor, antara lain Anopheles nigerismus dan An. peditaeniatus Kepadatan nyamuk berfluktuasi, kepadatan tertinggi terjadi pada jam 21.00-00.00.


Kegiatan Tahun Lokasi Sumber biaya Survai cepat pada situasi khusus (KLB) 2012 Cirebon-Jabar, Pesisir Selatan- Sumbar, Morotai-Maluku Utara, Bireun-Aceh, Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta (4 Provinsi) APBN Longitudinal Survai Vektor Malaria 2010- 2012 Kalimantan-Sulawesi (10 Provinsi), tiap bulan sekali GF R 8

135. 135 Kegiatan survei cepat yang bersumber biaya APBN 2012 dilakukan di 5 (lima) lokasi/Provinsi yaitu Jawa Barat(Kota Cirebon), Sumatera Barat (Kabupaten Pesisir Selatan), Maluku Utara(Kabupaten Morotai) dan Provinsi NAD (Kabupaten Bireun). Kegiatan survei cepat vektor tahun 2012 dilaksanakan pada situasi khusus yaitu: 1) Pada saat KLB penyakit Chikungunya di kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireun Provinsi NAD 2) KLB DBD di Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat 3) Persiapan sail morotai di Kabupaten Morotai Provinsi Maluku Utara 4) Terjadinya peningkatan kepadatan populasi nyamuk di Kota Cirebon 5) Dalam rangka mendukung eliminasi malaria di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Tujuan dari kegiatan survei cepat adalah : untuk mengetahui gambaran faktor resiko kemungkinan terjadinya penyakit tular vektor sebagai upaya pencegahan atau pengendalian vektor yang tepat di lokasi khusus. Dari hasil kegiatan survai cepat yang telah dilaksanakan di masing-masing Provinsi dapat diketahui bahwa : 1. Kota CirebonProvinsi Jawa Barat Dari informasi masyarakat dilaporkan bahwa kota Cirebon mengalami peningkatan kepadatan populasi nyamuk yang aktif menggigit malam hari. Untuk itu dilakukan survei cepat di 5 kecamatan, masing-masing kecamatan 1 kelurahan dan masing-masing kelurahan 1 RW. Lokasi yang disurvei adalah : - Kecamatan Pekalipan, kelurahan jakasatru, RW 04, 1 kasus - Kecamatan Harja Muhti, kelurahan Larangan, RW 01, 23 kasus - Kecamatan Kesambi, kelurahan Karya mulia, RW 17, 13 kasus - Kecamatan Kejaksan, kelurahan Sukapura, RW 04, 1 kasus - Kecamatan Wungkuk, kelurahan pengambiran, RW 14, 1 kasus Dari hasil survei cepat (entomologi) yang dilakukan di 5 kecamatan dan 6 kelurahan di kota cirebon didapatkan bahwa tempat perkembangbiakan potensial Ae aegypti yang ditemukan adalah bak mandi, ember, drum, bak WC dan tempayan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) rata-rata 94 %. Sebagian besar jentik Ae. aegypti dominan ditemukan di bak mandi. Selain itu ditemukan pula tempat perkembangbiakan potensial nyamuk culex di Parit/anak sungai yang ada di 5 kecamatan dan 6 kelurahan tersebut dengan kepadatan tinggi yaitu 40 ekor/cidukan. Kondisi lingkungan di parit tersebut banyak sampah sehingga air tidak mengalir. Hal itu yang menyebabkan terjadinya peningkatan kepadatan nyamuk Culex sp. Dari hasil penangkapan nyamuk pada malam hari ditemukan nyamuk Culex sp. dengan jumlah yang cukup tinggi 10 ekor/menit.

136. 136 Kegiatan pengendalian vektor antara lain larvasidasi sudah dilaksanakan dengan menggunakan insektisida vectobac WG dengan pelarut air lalu disemprotkan ke tempat saluran-saluran air yang terdapat jentik Culex sp.Disamping itu melakukan pembersihan sampah di saluran air secara gotong royong.Kegiatan Fogging tidak perlu dilakukan di lokasi karena dari hasil pengamatan vektor dan kasus DBD di 5 (lima) wilayah kecamatan cukup rendah sehinggakurang efektif terhadap nyamuk Culex sp. Fogging hanya efektif kurang lebih 30-60 menit. Nyamuk Culex sp. aktif menggigit pada malam hari. 2. Kabupaten Pesisir Selatan- Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan survei cepat vektor dilaksanakan di Desa Nagari Pasir Ganting Kecamatan Pancung soal wilayah kerja Puskesmas Indrapura, kabupaten pesisir selatan, Provinsi Sumatera Barat dalam rangka investigasi KLB. Tujuankegiatan survei cepat vektor adalah untuk memastikan terjadinya KLB dan penyakit yang menyebabkan KLB,mengidentifikasi wilayah penyebaran kasus dan;mempelajari faktor risiko terjadinya KLB dan identifikasi vektor di daerah KLB. Dari hasil survei cepat vektor diketahui KLB DBD di Desa Pasir Ganting terjadi karena ditemukan vektor dan agen penular penyakit di daerah tersebut yaitu ditemukannya jentik Aedes sp. (Ae.aegypti dan Ae.albopictus) dengan nilai ABJ (Angka Bebas Jentik) yang rendah (ABJ PE69,6%) dan (ABJ Survei93,02%). Disamping itu Kabupaten Pesisir Selatan merupakan daerah endemis DBD, sehingga dengan mobilitas penduduk resiko penularan dan penyebaran kasus sangat memungkinkan. Sampai dengan bulan April 2012, Desa Pasir Ganting tidak dilaporkan adanya kasus malaria, meskipun sebagai daerah endemis malaria.Hal ini bisa disebabkan karena tidak ditemukan jentik Anopheles sp. pada saat dilakukan survei pada breeding places yang berupa lagoon dan kobakan yang disebabkan kondisi breeding places telah mengalami perubahan, sehingga tidak menjamin survival dari jentik Anopheles sp, oleh karena itu sebaiknya perlu dilakukan Human Landing Collection (HLC) untuk mengetahui kepadatan nyamuk dewasa Anopheles sp.Di lokasi juga masih ditemukan penderita baru suspek DBD di Pasir Ganting maka periode KLB Demam Berdarah Dengue belum berakhir sehingga masih perlu dilakukan upaya monitoring. Upaya pengendalian telah dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Pesisir Selatan melalui penyuluhan/sosialisasi, larvasidasi dan fogging, namun perlu upaya yang lebih cepat dalam deteksi dini kasus dan upaya preventif lainnya. Diagnosa kasus DBD di Puskesmas berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik sehingga perlu ditunjang dengan pemeriksaan penunjang lain (laboratorium). 3. Kabupaten Morotai – Provinsi Maluku Utara. Kegiatan survei cepat di kabupaten morotai dilakukan dalam rangka persiapan sail morotai yang dilakukan untuk mengetahui faktor resiko

137. 137 terjadinya penyakit tular vektor di Kabupaten Morotai dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor.Lokasi kegiatan Sail Morotai direncanakan dilakukan di Desa Daruba, Bere-bere, Sofi, Pulau Dodola dan pulau Sumsum. Dari hasil survei jentik nyamuk ditemukan tempat perkembangbiakan potensial positif jentik Aedessp. berupa tempurung kelapa, perahu nelayan, ember, drum, bak mandi. Selain itu ditemukan pula tempat perkembangbiakan jentik positif Anopheles sp. dirawa, sekitar permukiman penduduk dan bandara, parit, kubangan bekas hewan dan bekas kendaran serta parit(galian) yang belum selesai dikerjakan.Dari survei nyamuk malam hari di pulau Dodala dan pulau Sumsum ditemukan nyamuk Culex sp dan Aedes sp dan agas. Di lokasi (wilayah) dilakukan pula survei lalat yang banyak ditemukan atau berpusat di pasar disebabkan pengelolaan sampahnya kurang baik. 4. Kabupaten Bireun- Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Menurut Dinkes Kabupaten Bireun, NAD, Di Kecamatan Gandapura Kabupaten Bireun, Provinsi NAD terjadi peningkatan kasus tersangka Chikungunya, di tahun 2010 ditemukan 33 suspect chikungunya, pada bulan Desember 2011 ditemukan22 suspect chikungunya, dan pada tanggal 24 Januari 2012 ditemukan 58 suspect chikungunya. Total suspectChikungunya dari tanggal 27 Desember 2011 sampai dengan 24 Januari 2012 sebanyak 80 orang suspect.Berdasarkan laporan KLB (W1) di Kecamatan Gandapura telah terjadi KLB Cikungunya di 5 desa yaitu Desa Cot Jabet, Lingka Kuta, Lapang Timu, Alumangki, Teupin Siron. Dari hasil kegiatan survei cepat vektor cikungunya diketahui bahwa wilayah kerja Puskesmas Gandapura, Kabupaten Bireun, Provinsi NAD ditemukan beberapa jenis tempat perkembangbiakan positif jentik Aedes sp. berupa bak mandi, ember, vas bunga, dispenser, drum, ban bekas, tempurung kelapa, botol bekas.Sebagian besar ditemukan di ban bekas. Dari 830 container yang diperiksa, 87 container positif jentik Aedes (CI 10,5%), Dari 163 rumah yang diperiksa, 46 rumah positif jentik (HI 28,2%), dan Angka Bebas jentik (ABJ: 71,8%). Meningkatnya kasus Chikungunya di kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireun- NAD kemungkinan karena kurangnya penyuluhan kepada masyarakat, serta peran serta masyarakat dalam pemantauan jentik berkala dan PSN, kurangnya SDM di puskesmas dalam pengendalian vektor.Dari hasil survai cepat vektor dapat disimpulkan bahwa dalam intervensi nyamuk tempat-tempat perkembangbiakan potensial nyamuk Aedes sp yang sulit dikuras atau yang terbengkalai supaya diberikan larvasida. Dalam fogging /pengasapan nyamuk dewasa perlu diperhatikan dosis, waktu, cuaca dan tenaga. 5. Kabupaten Kepulauan Seribu- Provinsi DKI Jakarta. Survei cepat (rapid survei) monitoring eliminasi malaria di kepulauan seribu, Provinsi DKI Jakarta, dilakukan di Pulau Pramuka, Pulau Untung Jawa.Dari hasil survei cepat didapatkan bahwa dalam metodologi mapping vector perlu mempertimbangkan parameter-parameter sebagai berikut,

138. 138 larva tiap cidukan, salinitas, pH dan suhu. Sehingga parameter-parameter tersebut saling melengkapi. Dari survei vektor di Pulau Pari ditemukan Larva Anopheles sundaicus denganbreeding places berupa empang, salinitas 25‰. Larva Ae.aegyptiditemukan pada sumur yang berada diluar rumah, Larva Culex spp. ditemukan di empang dengan salinitas 5-30‰. Di lokasi kegiatan perlu dilakukan uji kerentanan vektor malaria (monitoring insektisida), karena data ini yang belum dimiliki oleh Dinkes Provinsi DKI Jakarta dan Dinkes Kabupaten Pulau Seribu. Dalam upaya pengendalian vektor malaria perlu peningkatan kerjasama lintas sektoral , perlu SDM dibidang entomologi/pengendalian vektor malaria. Tabel 2.C.4.3 Hasil Uji Kerentanan Vektor Malaria dan Demam Berdarah Dengue c. Monitoring dan Evaluasi Kerentanan Vektor Monitoring dan evaluasi kerentanan vektor dilakukan untuk mengetahui ketahanan nyamuk terhadap insektisida yang telah digunakan. Monitoring dan evaluasi kerentanan dilakukan terhadap vektor DBD dan vektor malaria. Hasil evaluasi kerentanan terhadap vektor DBD (Aedes aegypti) menunjukan bahwa di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur telah resisten terhadap insektisida malathion 0,8% dan cypermethrin 0,025 %, serta toleran di Jambi, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara Monitoring evaluasi pemetaan kerentanan vektor DBD dilakukan di 8 lokasi Provinsi: 1) Sumatera Utara (Kabupaten Langkat), 2)Jawa Barat (Kabupaten Cirebon), 3) Jawa Tengah (Kabupaten Demak), 4) Jawa Timur (Kabupaten Bangkalan), 5) Jambi (Kabupaten Batang Hari), 6) Kalimantan Barat (Kabupaten Ketapang), 7) Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan), 8) Sulawesi Utara (Kabupaten Bitung). Latar belakang pemilihan lokasi dengan kriteria : - Lokasi tersebut merupakan daerah endemis DBD - Pernah dilakukan penyemprotan ( Indoor Residual Spraying) vektor DBD dengan menggunakan insektisida yang telah digunakan di lokasi. - Belum pernah dilakukan uji kerentanan vektor DBD. No Kegiatan Tahun Lokasi Sumber biaya 1. Uji kerentanan vektor malaria 2010-2012 Kalimantan-Sulawesi (10 provinsi) GF R 8 2012 (Mei) Belu-NTT APBN 2012 (Agustus) Paser-Kaltim APBN 2012 (September) Sorong-Papua Barat APBN 2. Uji kerentanan vektor DBD 2012 (Bulan Mei ) Langkat-Sumut APBN (Bulan Juni) DKI Jakarta APBD-DKI Jakarta (Pelaksana BBTKL- Jakarta)

139. 139 Tujuan monitoring evaluasi pemetaan kerentanan vektor DBD untuk mengetahui gambaran keberadaan vektor DBD dan faktor resiko serta permasalahan lainnya, status kerentanan dan sejarah penggunaan insektisida terhadap vektor DBD yang digunakan di lokasi survei. Hasil kegiatan Monitoring dan Evaluasi Pemetaan Kerentanan Vektor DBD di 8 (delapan) Provinsi dapat dilihat pada lampiran 6. Hasil evaluasi kerentanan terhadap vektor malaria menunjukan bahwa An. subpictus di Nusa Tenggara Timur masih rentan terhadap insektisida bendiocarb 0,1 % dan lamda sihalotrin 0,05 %, An.punctulatusdi Papua Barat masih rentan terhadap bendiocarb 0,1%, di Bengkulu An. kochi rentan terhadap bendiocarb 0,1 % dan lamdasihalotrin 0,05%, di Kalimantan Tengah An. tesselatustoleran terhadap lamdasihalotrin 0,05 % d. Monitoring dan Evaluasi Efikasi Insektisida Monitoring dan evaluasi efikasi insektisida bertujuan untuk mengetahui kemampuan insektisida dalam membunuh vektor. Monitoring dan evaluasi efikasi dilakukan terhadap kelambu insektisida pengendali vektor malaria. Hasil uji efikasi terhadap kelambu insektisida (olyset) di Kalimantan Timur masih efektif membunuh An. sundaicus dan tidak efektif membunuh An. vagus, di Gorontalo masih efektif membunuh An.vagus, di Kalimantan Barat tidak efektif terhadap An. peditaeniatus, di Sulawesi Utara tidak efektif terhadap An. parangensis, di Sulawesi Selatan tidak efektif terhadap An. vagus, di Kalimantan Selatan efektif terhadap An.tesselatusdan di Sulawesi Barat efektif terhadap An. Subpictus pada lampiran 8. Pelatihan yang diselenggaran oleh pusat adalah : 1. Pelatihan TOT Jabatan Fungsional Entomologi Kesehatan ini dilakukan oleh Subdit Pengendalian Vektor dan dilaksanakan di Bekasi dan Bogor, sebanyak 30 orang peserta selama 6 hari. 2. Pelatihan di Jakarta oleh Subdit Karkes, pelatihan ini ada 3 kelas dan masing-masing kelas 30 orang. 3. Pelatihan oleh Subdit Malaria, pelatihan ini dilaksanakan di Jakarta dan Sukabumi dengan peserta sebanyak 20 orang per angkatan dan ada sebanyak 2 angkatan. 4. Pelatihan Jabfung Entokes di BBPK Ciloto, pelatihan ini diselenggarakan oleh BBPK Ciloto sebanyak 2 angkatan dan masing-masing angkatan dengan 30 peserta, angkatan pertama untuk Jabatan Fungsional Entomologi Kesehatan Terampil dan angkatan kedua untuk Jabatan Fungsional Entomologi Kesehatan Ahli 5. Pelatihan Pengendalian Vektor Malaria, pelatihan ini diselenggarakan oleh BBPK Ciloto dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang

140. 140 6. Pelatihan Pengendalian Vektor dan Pemantauan Air Bersih, Pelatihan ini diselenggarakan oleh pertamina bekerjasama dengan P2B2 dalam hal ini Subdit Pengendalian Vektor dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang. Sumber dana yang dipakai dalam pelatihan ini dari Pertamina. Gambar 2.C.4.4 Pelatihan Pengendalian Vektor di Bapelkes Cikarang Bekasi Gambar 2.C.4.5 Pelatihan Pengendalian Vektor di Situ Burung Bogor

141. 141 Tabel 2.C.4.4 Beberapa Kegiatan Fasilitasi/Sosialisasi/Narasumber di Subdit Pengendalian Vektor No Kegiatan Tahun Output Sumber biaya 1. Pelatihan pengendalian vektor di daerah (sebagai narasumber) 2012 Padang (2 kali), Batam, Jakarta (Subdit Karkes), Jakarta (Subdit Arbovirosis), Tanjung Balai Karimun APBN Lhokseumawe KKP (APBN) 2. Pelatihan pengendalian vektor di daerah (sebagai narasumber) 2012 Pangkal Pinang, Makassar, Balikpapan, Tarakan APBD 3. Pelatihan pengendalian vektor di daerah (sebagai narasumber) 2012 Jakarta-Sukabumi (Subdit Malaria)-2 kali GF R 8 Pelatihan yang diselenggarakan oleh daerah: 1. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan, yang diselenggaraka oleh KKP Kementerian Kesehatan Tanjung Balai Karimun dengan jumlah peserta sebanyak 30 orang. 2. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh BTKL Kementerian Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan di Makasar dengan peserta sebanyak 30 orang. 3. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh KKP Kementerian Kesehatan Provinsi Bangka Belitung di Pangkal Pinang dengan jumlah peserta sebanyak 25 orang. 4. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh di KKP Lhokseumawe dengan jumlah peserta sebanyak 28 orang . 5. Pelatihan Pengendalian Vektor di Pelabuhan yang diselenggarakan oleh KKP Kementerian Kesehatan Kabupaten Tarakan dengan peserta sebanyak 9 orang, sebagai Nara Sumber dari Subdit Pengendalian Vektor dan Subdit Pengendalian Arbovirosis. Tabel 2.C.4.5 Beberapa Jenis Pelatihan (Jabatan Fungsional, TOT Entokes, Pelatihan Teknis Pengendalian Vektor) No. Kegiatan Tahun Frekwensi Jumlah peserta Sumber biaya 1. Pelatihan Jabfung Entokes di BBPK Ciloto 2012 2 kali setahun 30 orang APBN (PPSDM- BBPK Ciloto) 2. Pelatihan Pengendalian Vektor Malaria 2012 1 kali 30 orang APBN (PPSDM- BBPK Ciloto) 3. Pelatihan TOT Entokes 2012 1 kali 30 orang APBN (PPSDM) 4. Pelatihan Pengendalian Vektor dan Pemantauan Air Bersih 2012 1 kali 30 orang APBN (Pertamina) JUMLAH 5 Kali 150 orang

142. 142 Grafik 2.C.4.2 Pelatihan Entomologi Kesehatan yang diselenggarakan di Pusat dan di Daerah Tahun 2012 5.5.5.5. Pengendalian Penyakit Zoonosis a. Pengendalian Flu Burung Sampai saat saat ini daerah tertular Flu Burung di Indonesia ada15 Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, DIY, Bengkulu dan NTB. Terlihat melalui tabel di bawah ini, jumlah kasus Flu Burung cenderung menurun pada tahun 2012 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Grafik 2.C.5.1 Jumlah Kasus, Kematian dan CFR Penyakit FB di Indonesia Penurunan ini terjadi karena telah dilakukan pelatihan-pelatihan tatalaksana Flu Burung untuk petugas kesehatan baik dari puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun swasta. Selain itu penyebarluasan Komunikasi, Informasi

143. 143 dan Edukasi (KIE) melalui poster, leaflet dan informasi melalui media massa banyak mengenai tanda dan gejala flu burung kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih waspada terhadap Flu Burung. Namun demikian, pada tahun 2012 dari 9 kasus konfirmasi Flu Burung seluruhnya meninggal dunia (CFR 100%). Ke-9 kasus konfirmasi ini terjadi di Provinsi Jawa Barat dilaporkan 2 kasus, DKI Jakarta, Banten, D.I. Yogyakarta, Bali, Bengkulu, Riau dan Nusa Tenggara Barat masing-masing dilaporkan terjadi 1 kasus.Hal ini dapat dijelaskan dari hasil penyelidikan epidemiologi adalah sebagai berikut: 1. Teridentifikasi pasien masih melakukan doctor shoping dan baru berobat ke pelayanan kesehatan setelah beberapa hari mengalami gejala sehingga deteksi dini kasus flu burung dan pemberian oseltamivir menjadi terlambat (lebih dari 48 jam). 2. Beberapa pasien tidak diberikan oseltamivir. 3. Masih terdapat petugas kesehatan yang kurang waspada terhadap penyakit flu burung sehingga pada saat melakukan anamnesa tidak menanyakan riwayat kontak dengan faktor risiko karena gejala awal flu burung serupa dengan penyakit influenza musiman. 4. Banyak pasien yang sudah meminum obat warung sehingga tanda-tanda gejala flu burung kurang jelas 5. Masih banyaknya peternak unggas rumahan (backyard farm) yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan sehingga kasus flu burung masih dapat ditemukan. Sampai saat ini masih diyakini bahwa flu burung pada manusia ditularkan melalui unggas. 6. Adanya mobilisasi mutasi tenaga kesehatan yang sudah mendapatkan Pelatihan Tatalaksana Kasus Flu Burung tergantikan dengan tenaga yang relatif masih baru dan belum mendapatkan pelatihan tatalaksana Flu Burung. Grafik 2.C.5.2 Distribusi kasus dan kematian Flu Burung Indonesia Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Sampai saat ini kasus Flu Burung ( Konfirmasi ) telah dilaporkan di 15 Provinsi Indonesia dimana kasus terbanyak terdapat di Provinsi DKI dan disusul oleh Provinsi Banten.

144. 144 Grafik 2.C.5.3 Kasus Flu Burung menurut jenis kelamin, Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Kasus Flu Burung menurut jenis kelamin terlihat bahwa sekitar 54,7% (105 orang) terkonfirmasi pada jenis kelamin perempuan dan 45,3% (87 orang) pada jenis kelamin laki-laki. Perbedaan sekitar 10% ini perlu diteliti lebih lanjut apakah jenis kelamin mempengaruhi kekuatan imunitas seseorang terhadap virus Flu Burung. Grafik 2.C.5.4 Kasus Flu Burung menurut Kelompok Umur Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Berdasarkan grafik di atas menunjukkan kasus Flu Burung banyak terjadi pada kelompok balita (< 5 tahun), anak – anak (5 sd 14 tahun), remaja (15 sd 19 tahun) dan dewasa muda (20 sd 39 tahun). Ini berarti semua kelompok umur bisa terinfeksi virus Flu Burung. LAKI-LAKI; 45,3% PEREMPUAN; 54,7%

145. 145 Grafik 2.C.5.5 Kasus Flu Burung menurut Faktor Risiko Bulan Juni 2005 sd Desember 2012 Ada 2 (dua) faktor risiko terbesar yang dapat menyebabkan terjadinya kasus Flu Burung yaitu kontak langsung 45 % (87 orang) dan kontak lingkungan 41 % (78 orang). b. Pengendalian Rabies Hingga tahun 2012 saat ini terdapat 24 Provinsi tertular Rabies (SK Menteri Pertanian) yaitu Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Palembang, Lampung, Banten, Jawa Barat, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Maluku). Provinsi Kalimantan Barat hingga saat ini tidak dilaporkan adanya kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) begitu juga tidak ada kasus lyssa.Namun demikian,status daerah kasus tertular rabies masih belum dicabut oleh Kementerian Pertanian. Pada tahun 2012 spesimen positif Rabies pada hewan sebanyak 1.155 spesimen dari 79.192 kasus gigitan yang dilaporkan dari 24 provinsi tertular Rabies selama tahun 2012 (Grafik 2.C.5.6) di bawah ini. Grafik 2.C.5.6 Jumlah Spesimen Positif Rabies pada hewan Tahun 2008 sd 2012

146. 146 Selama tahun 2012 kasus Rabies di hewan dilaporkan dari provinsi Sulawesi Tengah, Maluku dan Sulawesi Utara Pemeriksaan spesimen otak anjing terhadap Rabies dilakukan di Balai Penelitian Veteriner (BPVet) dimasing- masing regional atau laboratorium hewan setempat (laboratorium tipe C) dengan menggunakan metode pewarnaan seller dan FAT(Fluorescent Antibody Technique) Apabila dibandingkan dengan tahun 2011, jumlah spesimen positif Hewan Penular Rabies (HPR) menunjukkan penurunan. Hal ini diikuti oleh jumlah kasus lyssa (Rabies pada manusia ) yang juga menurun, jumlah spesimen yang diperiksa pada tahun 2012 sebanyak 1.155 spesimen, sedangkan kematian karena lyssa sebanyak 135 kasus. Grafik 2.C.5.7 Jumlah Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) dan Post Exposure Treatment (PET) Tahun 2008 sd 2012 Dari grafik di atas terlihat bahwa jumlah gigitan hewan penular rabies (GHPR) pada tahun 2012 (lebih rendah apabila dibanding dengan jumlah HPR pada tahun 2011, terlihat juga terjadi peningkatan persentase penatalaksanaan kasus gigitan/Post Exposure Treatment (PET) yaitu sebanyak 71.843 (85,52%) pada tahun 2011 dan sebanyak 69.402 (87,64%) pada tahun 2012. Grafik 2.C.5.8 Provinsi & Kabupaten/Kota yang Melaporkan Adanya Lyssa Tahun 2008 sd 2012

147. 147 Dari Grafik di atas, terlihat daerah yang melaporkan adanya kasus kematian akibat Rabies (lyssa) pada tahun 2008 adalah di 19 Provinsi. Dari Tahun 2008 hingga 2011, provinsi yang terdapat lyssa jumlahnya cenderung semakin menurun. Namun pada tahun 2012 jumlah provinsi yang melaporkan adanya kasus lyssa sama dengan tahun 2011 yaitu sebanyak 16 Provinsi.Sedangkan jumlah kabupaten/kota yang terdapat kasus lyssa relatif menurun yaitu sebanyak 65 Kab/Kota pada tahun 2011 dan sebanyak 65 Kab/Kota pada tahun 2012. Grafik 2.C.5.9 Lyssa per-Provinsi Tahun 2011 sd 2012 Dari grafik di atas terlihat upaya terintegrasi yang telah dilakukan di Provinsi Bali berhasil menurunkan kematian akibat rabies (lyssa) dari 23 lyssa menjadi 8 lyssa. Namun di Provinsi Sulawesi Utara terjadi peningkatan lyssa dari 26 lyssa menjadi 35 lyssa dan merupakan lyssa tertinggi di Tahun 2012. Hal ini terjadi karena banyaknya hewan penular rabies yang diliarkan dan rendahnya cakupan vaksinasi anti rabies pada hewan penular rabies tersebut. c. Pengendalian Leptospirosis Provinsi yang masih melaporkan adanya kasus leptopirosis dari tahun 2005 sampai tahun 2012 adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur (Grafik ..di bawah ini). Grafik 2.C.5.10 Provinsi yang melaporkan adanya kasus Leptospirosis Tahun 2005 sd 2012 Peningktan Tajam Banjir di Jakarta

148. 148 Dari grafik di atas distribusi Provinsi endemis di atas, selama 6 tahun kebelakang ada lonjakan kasus Leptospirosis yang terjadi yakni di tahun 2007 dan 2011. Tahun 2007, lonjakan terjadi akibat terjadinya banjir besar di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Februari dan pada tahun 2011 terjadi pula peningkatan yang cukup tinggi yang terjadi di Provinsi DIY. Hal ini dikarenakan terjadi KLB di Kabupaten Bantul. Grafik 2.C.5.11 Distribusi Kasus Leptospirosis Tahun 2004 sd 2012 Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di Indonesia dilaporkan sebanyak 409 kasus dengan 43 kasus kematian (CFR 10,51%). Kasus-kasus ini ditemukan di delapan (8) Provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan. Pada bulan Maret 2011 telah terjadi wabah Leptospirosis di Yogyakarta, dilaporkan sebanyak 39 kasus dengan 7 kasus kematian (CFR 17,95%) dan Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan KLB Leptospirosis setelah dilaporkan sebanyak 154 orang telah terinfeksi oleh Leptospira dan 12 orang di antaranya meninggal (CFR 7,79%). Pada tahun 2012 terjadi 29 kasus kematian yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dilaporkan 20 kematian, Provinsi D.I. Yogyakarta dilaporkan 7 kematian dan Provinsi Jawa Timur dilaporkan 2 kematian. Grafik 2.C.5.12 Distribusi Kasus Leptospirosis menurut Provinsi Tahun 2012

149. 149 Dalam upaya pengendalian Leptospirosis Kementerian Kesehatan telah melaksanakan berbagai upaya seperti membuat surat edaran kewaspadaan Leptospirosis setiap tahun, pengadaan Rapid Test Diagnostic (RDT) sebagai buffer stock apabila terjadi KLB, mendistribusikan media KIE seperti buku pedoman, lefleat, poster, roll banner dll. Tetapi hingga saat ini Leptospirosis di Indonesia terus menyebar dan menyebabkan kematian manusia. Beberapa masalah dalam kegiatan penanggulangan Leptospirosis di Indonesia diantaranya sebagian besar pasien Leptospirosis datang ke rumah sakit dalam keadaan terlambat, masih rendahnya sensitivitas kemampuan petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosa leptospirosis, terbatasnya ketersediaan RDT serta managemen dan pelaporan yang belum baik. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini serta pengobatan segera penderita untuk mencegah kematian, Intervensi lingkungan untuk mencegah munculnya sarang-sarang atau tempat persembunyian tikus. d. Pengendalian Antraks Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.Penyakit ini disebabkan oleh kuman antraks (Bacillus anthracis). Kuman ini dapat membentuk spora yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat bertahan hidup selama 60 tahun didalam tanah, sehingga sulit untuk dimusnahkan. Sumber penularan antraks adalah hewan peliharaan seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terinfeksi Bacillus anthracis. Manifestasi pada manusia terjadi bila seseorang berhubungan dengan hewan yang sakit atau produk hewan tersebut misalnya bulu, kulit, atau memakan daging hewan yang tertular antraks.Selain itu penularan juga dapat terjadi bila seseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit misalnya dari kulit atau bulu yang dikeringkan. Hewan yang sering terkena adalah hewan ternak herbivora yang makan rumput dari tanah yang terkontaminasi spora tetapi kadang-kadang dapat juga menulari hewan liar yang memakan daging hewan yang telah tertular antraks.Penularan pada manusia dapat terjadi bila mengkonsumsi daging dari ternak potong yang sedang sakit antraks dan tidak dimasak dengan sempurna. Grafik 2.C.5.13 Situasi Antraks pada manusia di Indonesia Tahun 2008 sd 2012

150. 150 Pada tahun 2010 telah dilaporkan kasus Antraks pada manusia sebanyak 31 kasus dan 1 orang diantaranya meninggal (CFR 11,76%). Penderita Antraks yang meninggal tersebut adalah penderita Antraks tipe pencernaan. Sebanyak 24 kasus berasal dari Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah dan 7 kasus berasal dari Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Pada tahun 2010 jumlah kasus Antraks meningkat namun jumlah kematian menurun bila dibandingkan dengan tahun 2009. Pada tahun 2011, terjadi peningkatan kasus yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2012 ditemukan kasus antraks kulit sebanyak 15 kasus pada bulan Maret 2012 dan 3 kasus pada Bulan Juni 2012 di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kembali dilaporkan sebanyak 4 kasus pada Bulan Agustus 2012 di Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga total kasus pada tahun 2012 adalah sebanyak 22 kasus dan tidak ada kematian. Pengendalian kasus antraks dapat dilakukan dengan peningkatan kegiatan surveilans yang intensif terhadap kasus antraks dengan fokus daerah endemis atau daerah rawan lainnya.Kegiatan surveilans diintensifkan pada hari-hari perayaan agama seperti Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal ataupun perayaan hari besar lainnya dan juga saat dimungkinkan konsumsi daging meningkat. Gambar 2.C.5.1 Beberapa Kasus Antraks Kulit Grafik 2.C.5.14 Situasi Antraks pada Manusia di Daerah Endemis Antraks Tahun 2008 sd 2012

151. 151 Tahun 2012, kasus antraks hanya terjadi di Kabupaten Ende, provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Gambar 2.C.5.2 Peta Penyebaran Antraks di Indonesia e. Pengendalian Pes Sampai tahun 2012 di Indonesia khususnya di Pulau Jawa masih terdapat 3 daerah fokus Pes yang masih aktif, yaitu di 1) Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Pasuruan ada dua kecamatan yaitu: Kecamatan Tosari dan Kecamatan Nongkojajar. 2) Jawa Tengah di Kabupaten Boyolali ; Kecamatan Selo dan Kecamatan Cepogo, 3) Yogyakarta di Kabupaten Sleman, Kecamatan Cangkringan. Kegiatan Pengendalian dan Penanggulangannya masih tetap dilakukan secara rutin dengan menitikberatkan kepada pengamatan secara aktif dan pasif pada penduduk setempat maupun hewan-hewan rodensia dan pinjalnya yang masih menjadi sumber penularan/ vektornya. Grafik 2.C.5.15 Situasi Spesimen Pes pada Manusia yang Diperiksa Tahun 2004 sd 2012

152. 152 Kegiatan spesimen pes yang dilakukan terakhir adalah pada tahun 2009, sampai dengan tahun 2012 di Indonesia belum ditemukan lagi penderita Pes (yang positif kuman Pes). Sedangkan hasil pengamatan yang berupa pemeriksaan serologis terhadap spesimen-spesimen yang berasal dari suspek Pes dan spesimen serum rodensia sampai dengan tahun 2007 masih terdapat beberapa yang positif antibodi Pes. Demikian juga masih ditemukannya kuman Pes pada rodensia dan pinjalnya di daerah-daerah fokus Pes. Grafik 2.C.5.16 Situasi Spesimen yang diperiksa pada Rodent Tahun 2004 sd 2012 Dari grafik diatas, terlihat dari data tahun 2010 – 2012 jumlah spesimen kosong, hal ini disebabkan sejak tahun 2010 sampai dengan 2012 tidak ada laporan kasus yang masuk. 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 DIPERIKSA 3157 1190 4762 5540 1214 3175 407 0 0 POSITIF 3 4 3 16 12 0 34 0 0 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untuk Sementara Komentar Kami Tutup
--Terima Kasih--

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.